BAB 15 - Keluh Farren

218 12 1
                                    


Terdiam, sendiri, dalam kelam.

Hanya aku, dan puing penyesalan.

Farren

Sebenarnya aku pura-pura tidur tadi. Sekarang aku malah tak bisa tidur. Ini semua salahku. Jika dulu tak mengajak Favian ke sini, ia tak perlu kelaparan seperti ini. Tak perlu hidup menderita. Semua salahku.

Sebenarnya bisa saja aku minta bantuan pada Willy tentang masalah ini, tapi aku tak mau itu berlanjut karena jika ia tahu, pasti sakit dan membenciku. Dan aku pribadi tak mau itu berlanjut terus, tak mau tergantung dengannya.

Aku malu. Saat kami benar-benar butuh, harusnya aku yang banting tulang mengusahakan untuknya, karena selama ini ia sudah baik denganku. Saatnya aku membalasnya. Nyatanya apa? Aku malah membawanya dalam kesengsaraan. Dan seperti biasa, ia yang menyelamatkan.

Aku janji, akan mendapatkan pekerjaan sebagai penyanyi kafe. Jujur saja, sebulan kedepan mungkin adalah saat terpahit dalam hidup kami. Namun setelah itu, aku janji semuanya akan baik-baik saja. Setelah gaji pertama itu, harus mengirit.

Apakah aku harus mengikuti cara Willy? Buktinya sudah terpampang nyata padanya. Kostnya bagus, ada LCD TV di dalamnya. Dan mereka punya motor sendiri-sendiri. Kurang apa lagi? Padahal aku tahu, gaji segitu tak akan cukup untuk membeli itu semua. Pasti sudah habis untuk biaya hidup sehari-hari. Makan saja semahal itu. Ah, Bali. Kamu bukanlah surga dunia, tapi neraka bagi kaum seperti kami, yang tak punya apa-apa.

Di antara gemerlap, kami tak bisa makan. Di antara suka, kami berduka. Ah, hampir seperti gembel saja. Ups. Benar juga sekarang kami bukan siapa-siapa. Kami cuma gembel. Oh, bukankah dari dulu aku gembel? Sombong sekali aku, mengakui aku orang berada, padahal orangtua saja tak punya.

Aku masih tak tega dengan Favian. Harusnya saat kemarin ia berniat pulang, tak menghalanginya. Tapi sungguh aku tak mau sendirian dan melepasnya. Bukannya apa. Jika ia pulang aku harus hidup sendiri di sini. Betapa sepinya hidupku nanti.

Ah, ia harus jadi tanggung jawabku. Aku yang mengajaknya, aku yang melarangnya kembali.

Willy, mengapa aku bisa mengenalnya? Apakah aku sudah terjebak? Di sini mendekatkanku pada hal itu? padahal sudah lama aku menyingkirkannya. Memendamnya hingga tak pernah terlintas dipikiranku.

Oke, akan kucoba mencari lowongan besok. Semoga kami bisa makan besok. Soal OCD, aku tak bersungguh-sungguh. Hanya alibiku untuk ngirit. Ah, aku tak peduli body-ku seperti apa. Apalagi sengaja menyiksa diri tak makan seperti itu.

Kata pepatah, bisa karena terbiasa. Ya, mungkin kami bisa OCD dan kuat nggak makan karena membiasakannya. Tapi ... sekali lagi maafkan aku.

Dan soal itu ... maafkan aku merahasiakannya padanya. Berbohong demi kebaikan baik bukan? Biar lara kuderita sendiri, asal ia bahagia.

Favian pernah bilang, kami berhak menyimpan rahasi yang tak boleh ada satupun yang tahu. Aku juga, termasuk Favian tak boleh tahu. Sampai kapan pun. Karena aku yakin itu akan membuatnya marah dan terluka.



*) sumber gambar http://lirikpuisi.besaba.com/wp-content/uploads/2014/06/renungan.jpg

My Bromance [18+] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang