Jingga di bahumu. Malam di depanmu. Dan bulan siaga sinari langkahmu. Teruslah berjalan. Teruslah melangkah. Kutahu kau tahu. Aku ada.
(Dee, Rectoverso)
Jarum jam terus berputar. Malam terus merangkak pekat. Dan tanya masih menggantung di kepalaku. Aku tak mengerti. Apa yang terjadi dengan malam ini. Bukankah tadi mereka saling bercanda, gembira? Bukankah mereka pasangan serasi. Raja dan ratu untuk malam ini. Bahkan aku mengidolakan mereka. Tapi ...
Kulangkahkan kaki ke arah Farren berharap pertanyaan yang menggantung di kepalaku lekas terjawab.
Angin malam berhembus menghujam tubuhku. Api lilin di depan Farren padam. Kulihat Farren duduk kembali dengan kepala tertunduk. Apa mungkin ia menyesal tak mengejar Osi, atau apa?
Aku langsung duduk di depan Farren. "Apa yang terjadi?" tanyaku pelan.
Farren mengangkat kepalanya. "Kita putus," jawabnya datar.
Aku terkaget. Jawaban singkat yang menambah daftar pertanyaan di kepalaku. Kok bisa? "Ha? Kenapa?" tanyaku menyelidik.
"Dia nggak mau LDR," jawabnya masih datar. "Tapi, yasudahlah. Gue sudah siap dengan semua keputusannya." Farren tersenyum. Sedikit dipaksakan. Aku tahu itu, sorot matanya berbicara bahwa ia tak rela.
"Maksudnya?" Aku ingin memastikannya lagi.
"Duh, lola." Farren menggetok kepalaku. Aduh. "Kita mau ke Bali, kan? Gue udah niat malam ini bakal pamitan. Jika dia nggak mau LDR yasudah," jawab Farren ringan. "Tenang aja. Cewek bisa dicari lagi ntar...."
Ternyata malam ini sudah direncanakanya. Baginya malam ini adalah malam penentuan lanjut atau tidak hubungan mereka, dan jawabannya membuatku merasa bersalah.
"Maaf ya. Gara-gara ke Bali, lo jadi putus."
Farren malah terbahak. "Nggak usah lebay, deh. Yang pengen ke Bali juga gue sendiri. Yasudahlah... yang penting ntar lo yang bayar."
Ya, ia memang terlihat biasa. Tapi aku tetap merasa tak enak. Apalagi mereka saling mencintai. Pasangan serasi yang membuatku iri. Hingga pada akhirnya patah hati menyambangi Farren.
"Oke-oke... gue yang bayar," jawabku enteng. Aku harus bersikap biasa, agar ia pun tetap tegar. Aku yakin ia bisa tegar, karena ia tumbuh dengan perjuangan. "Eh, kapan kita berangkat? Terus gimana caranya kabur?"
Farren mengerutkan keningnya. "Em... senin besok. Kalau weekend nggak mungkin. Ortu di rumah, kan? Senin pagi keluar, ngumpet dulu. kayaknya kereta ke Surabaya berangkat siang. Terus ntar nyanyi-nyanyi Kereta Malam, deh." Farren terbahak lagi.
"Emang mau dangdutan di dalam kereta, ha?" Kuambil sedotan di gelas Osi tadi dan melemparkannya ke muka Farren. "Gue ngikut, lo leader-nya."
"Bah, sialan lo." Farren melempar sedotan itu ke arahku, namun aku segera menghindar.
"Kita langsung pulang, nih? Masih jam delapan lebih dikit," tanya Farren sembari melihat jam di layar HP-nya.
Keningku berkerut. "Em... gue pengen ke Monas, nggak pernah ngelihat monas di malam hari."
"Haha... Yakin... nggak takut telat? Nanti kemalaman, lho."
"Yakin... mumpung bisa keluar malam," jawabku mantap.
Monas di malam hari? Aku hanya bisa melihatnya di TV. Ya, sekalian menghabiskan jam malam ini. Mumpung bisa keluar.
Kami pun menuju kasir dan membayar makanannya. Langsung saja tancap gas ke Jakarta Pusat.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...