BAB 14 - Tentang Bekerja

298 12 11
                                    


Tapi bagaimanakah bekerja dengan rasacinta itu ?
Bagaikan menenun kain dengan benang yang ditarik dari jantungmu, seolah-olah kekasihmu yang akan memakainya kelak.

(Kahlil Gibran)

Farren

Pintunya sudah terkunci. Mungkin ia sudah terlelap. Duh, aku lupa sesuatu sebelum pergi tadi; mengingatkannya untuk makan malam. Tuhan... sudah makankah anak itu?

Berdosanya diriku. Aku tak mengajaknya makan terlebih dulu. Malah pergi begitu saja, dan pulang lewat tengah malam. Anak itu pasti belum makan, apalagi jelas ia tak tahu di mana tempat makan di daerah sini. Terkutuk diriku ini.

Harusnya kita selalu bersama. Lapar bersama, kenyang bersama. Aku malah makan malam bersama Willy, ditemani dua botol Jack Daniel's dari Willy. Maafkan aku, Fa.

Ingin sekali kubangunkan ia, tapi aku malah akan mengganggu tidur lelapnya. Betapa lelapnya ia. Sampai kehadiranku tak membutnya sedikit pun terganggu. Sudahlah, kubaringkan saja tubuhku di sampingnya. Kupandangi langit-langit.

Badanku rasanya capek semua. Persendianku kaku. Tubuhku lemas kehabisan tenaga. Ya, aku butuh istirahat.

Kupejamkan mataku bersama harapan, semoga besok ia tak tanya macam-macam.

***

Favian

"Pulang jam berapa tadi malam, Ren?" tanyaku pada Farren yang baru bangun. Aku baru selesai memakai baju. Bersiap segera berangkat kerja.

Terlihat benar matanya masih mengantuk. Masih sipit dan terlihat susah untuk terbuka.

Seingatku sudah kutunggu ia sampai jam sebelas malam. Setelah itu mungkin aku sudah terlelap, karena tak ingat lagi apa yang kuperbuat. Bukankah hanya mengembalikan motor saja? Kenapa lama.

Aku menunggunya, ingin mengajaknya makan malam bersama. Aku tak tahu daerah ini. Apalagi tempat makannya. Kuputuskan berdiam diri saja di kamar. Menulis dan termenung. Membosankan memang, tapi bagaimana lagi, TV saja tak ada. Kost sebelah sepi. Penghuninya datang dan pergi tanpa menyapa.

Farren menguap lebar. Kemudian mengucek kedua matanya. "Em, nggak lewat tengah malam, lupa jam berapa." Farren menggeliat lagi.

Jam sebelas aku baru terlelap, nyatanya ia tak pulang. Oh, mungkin jam setengah duabelas. Baik bisa kuterima jawabanmu. Tapi kenapa lama? Namun pertanyaan itu kubiarkan saja menggantung di kepalaku. Ia terlihat masih letih, aku takut membuatnya tak nyaman dan marah.

"Sudah sana mandi, ntar telat lagi ke hotel," suruhku.

Farren menggeliat sekali lagi dan pada akhirnya bangkit. Sepertinya ia memang masih mengantuk. Langkahnya diseret ke kama mandi. Sedangkan aku menyempurnakan penampilanku; menyisir rambu dan menyemprot minyak wangi.

Setelah siap, Farren langsung mengajakku berangkat. Sebelumnya ia membelokkan langkah kami ke warung makan di dekat kost. Tuhan... jika aku tahu di sini ada warung, aku tak perlu kelaparan tadi malam. Huh!

Untung saja ada warteg nyelip di sini. Jadi tak perlu khawatir mendapatkan harga yang mahal seperti di kafe atau restoran.

Kami kompak memesan telur ceplok untuk memenuhi lambung, dan segelas teh hangat untuk membasahi kerongkongan, pagi ini. Harus ngirit, karena gajian kurang lebih satu bulan lagi. Bukan waktu yang pendek bukan? Apalagi uang kami semakin menipis.

Aku makan dengan lahapnya. Cuek saja jika dikira orang kelaparan, karena memang aku benar-benar kelaparan. Perutku tak terisi sejak tadi malam. Apalagi setelah bekerja seharian.

My Bromance [18+] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang