Ketika tiba perpisahan janganlah kalian berduka, sebab apa yang paling kalian kasihi darinya mungkin akan tampak lebih nyata dari kejauhan, seperti gunung yang nampak lebih agung terlihat dari padang dan dataran.
(Kahlil Gibran)
Favian
Hingar-bingar musik terdengar. Rupanya DJ di belakang mejanya sudah mulai beraksi. Warna-warni cyberlight menari-nari memancar cahaya ke seluruh ruangan. Terutama menyorot ke arah pentas.
Aku terbelalak, saat tiga cowok yang hanya mengenakan celana dalam merek terkenal naik ke atas pentas. Semua berbadan tegap dan punya tubuh yang indah.
Aku terhenyak tak percaya, saat mataku menangkap sosok yang kukenal. Seorang yang dekat denganku, sahabat terbaikku, Farren. Ia ada di salah satu dari tiga cowok di atas pentas.
Mataku terus terpaku pada tiga cowok di atas pentas itu, terutama Farren. Tanpa rasa malu sedikit pun, mereka menari memamerkan keindahan lekuk tubuhnya. Bokong seksi, dada, dan perut sixpack-nya. Sungguh menggairahkan. Mengikuti irama dentuman musik yang terus menggebu.
Banyak pengunjung yang mendekat di depan pentas. Ikut menari dan bersuka ria. Sedangkan aku hanya terpana, karena ini pemandangan menjijikkan.
Aku masih tak mengerti dengan apa yang kulihat sekarang. Ia yang menjadi sahabat terbaikku, yang katanya berkerja menjadi penyanyi kafe ternyata seorang penari striptease.
Aku terus menguatkan diri. Meski nyatanya tubuhku mulai layu. Dengan susah payah aku berusaha berdiri. Kakiku sebagai tumpuan serasa lemas. Perlahan aku mendekati pentas yang sudah sesak oleh bule-bule yang ikut bergoyang. Satu bule ditarik salah satu penari ke atas pentas, dan diajak menari bersama. Setelah selesai, bule tersebut menyelipkan selembar uang ke dalam celana dalam penari.
Aku terus menerobos kerumunan orang-orang yang tengah bergoyang, hingga sampai tepat di depan pentas. Panggung kecil itu tingginya kira-kira satu meter.
Tak terasa air mata sudah mengalir dipipiku. Aku tak pernah melihat ini sebetulnya. Dan sekarang aku melihatnya, dilakukan oleh sahabatku sendiri. Benar-benar tak bisa kupercaya. Tapi inilah nyatanya.
Tak sengaja mata Farren menangkap sosokku. Sepertinya ia terkaget. Bahunya berguncang pelan dan terdiam.
"Farren. Lo—" aku tak bisa melanjutkan perkataaku. Sulit sekali untuk berbicara. Dan kulihat Farren berjalan mendekatiku.
Aku langsung balik badan dan berlari menerobos orang-orang yang tengah bergoyang.
Sedetik kulihat ke belakang, Farren mengejar. Hanya mengenakan celana dalam dan sepatu boots merek terkenal. Tak sempat kuseka air mata yang terus mengalir ini, aku terus berlari.
Orang-orang dalam bar tak peduli dengan kami. Mereka sibuk sendiri dengan kesenangan dunia yang semu dan sementara. Pintu bar sudah di depan mata. Aku mempercepat lariku dan setelah keluar langsung sembunyi di bar sebelah.
***
Aku keluar dari persembunyian. Ternyata sama saja. Bar yang kumasuki menyajikan pertunjukan tarian serupa. Cowok-cowok berbadan tegap yang hanya mengenakan celana dalam merek terkenal, menari dengan hot-nya.
Aku terus menyeka air mataku yang tumpah setiap waktu. Hatiku tak menentu. Sebetulnya tak ada alasan uantukku menangis, tapi entah kenapa air mata itu terus menetes membasahi pipi.
Aku terlus berjalan di atas trotoar sepajang jalan. Aku sudah tak tahu arah pulang. Aku enggan pulang dan bertemu Farren. Trotoar sepanjang jalan ini ramai. Orang-orang hilir-mudik. Beberapa ada yang nongkrong saja. Duduk di atas motor yang diparkir di pinggir jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...