Cinta, apakah kamu bisa setia?
Kukira cinta itu indah, ternyata menyakitkan.
Sudah kubayangkan bahagianya hariku bersamanya. Mulai dari pertemuan pertama, hingga menapaki hari bersama. Selalu.
Mengabiskan senja dengan berjalan di pantai Kuta. Bercengkrama dengan air lautn pantai Kuta. Main pasir seperti anak kecil. Berjemur seperti bule kebanyakan. Cadle light di cafe sekitaran jalan Kuta. Memintal lagi cinta yang sempat putus. Bernostalgia tentang perkenalan awal kita. Berdua. Ya, hanya berdua.
Argghhh!
Itu hanya pengandaian yang sia-sia.
Kukira ia akan terkejut, melihatku ada dihadapannya. Melihatku menjadi nyata. Benar ia terkejut, karena tak menginginkan kehadiranku. Jahat! Di saat aku sudah berkorban untuk menemuinya, ia mencurangi aku seperti ini. Duhai cinta pertama, apalah artimu sebenarnya?
Ingin sekali aku menjerit. Berteriak pada langit. "Hatiku teriris...!" Ingin kumenangis. Histeris. Sungguh aku tak kuat menahan rasa ini. Mungkin benar kata Megi Z, "Lebih baik sakit gigi, daripada sakit hati." Nyatanya memang sakit yang kurasa luar biasa. Aku sudah tak bisa menceritakan rasanya seperti apa.
Ini kenyataan yang terpaksa kureguk. Telepon itu ... saat ia memutuskan untuk berpisah denganku. Aku pun merasakan sakit yang luar biasa. Kegalauanku mengganggu hariku. Namun ada cahaya kecil yang kudapat dari Farren. Sebuah pengharapan bahwa ia akan membawaku menemuimu. Ia benar, namun itu membuatku kesakitan. Aku bertemu dengannya, dengan pacar barunya yang sudah lima bulan jadian.
Keluar kamar kost pacarnya. Dengan baju kekurangan bahan. Tank top dan hotpants. Apa yang mereka lakukan di dalam?
Sedangkan ia pura-pura tak mengenalku, hingga akhirnya kupastikan itu benar ia. Ia pemilik hatiku. Ia cinta pertamaku. Pecahlah hatiku saat itu. Remuk menjadi kepingan tajam yang menghujam jantung dan pembuluh darahku. Hingga aku tak tahu ke mana perginya ia.
***
Sebetulnya bukan hakku untuk marah. Nyatanya kita memang sudah putus. Tapi kamu salah, karena sebelumnya telah membagi hati. Menikamku diam-diam, dan memutuskanku dengan alasan yang terpaksa kuterima, padahal itu bullshit!
Apakah aku harus marah pada Farren? Kurasa tidak tepat. Ia berusaha memberikan yang terbaik untukku, sahabatnya. Sungguh berdosa aku jika kulimpahkan kemarahanku padanya.
Apakah aku harus marah pada Anggrek? Kurasa tak ada gunanya. Ia hanya cewek yang tidak tahu diri! Cewek murahan yang mau-maunya dibawa ke kamar. Namun jika boleh jujur, aku belum bisa menghapus rasa itu. Cinta.
Bagaimana mungkin cinta yang sudah terpatri sekian lama bisa dengan sekejap hilang. Bagaimana mungkin cinta yang dilandasi kesetiaan tega untuk berhianat. Ah, aku bingung dengan cinta. Dan aku marah padanya.
Maafkan aku diary. Terpaksa aku menumpahkan kesalku pada lembaranmu. Siapa lagi jika tidak pada kertas putihmu? Maafkan aku telah membasahi lembaranmu dengan air mataku. Jika bisa, aku pun tak ingin air mata ini tumpah. Sayangnya aku terlalu mudah untuk menangis.
Diary. Kau tahu sendiri kan bagaimana aku sebenarnya?
Aku yang berusaha menutup kelemahanku. Berusaha tampil 'normal'. Kuat dan ceria. Nyatanya aku memiliki hati yang rentan seperti kaca, yang mudah pecah. Aku yang terbiasa manja tak bisa berdiri sendiri.
Dalam keadaan seperti ini, aku teringat mama. Ah, berdosanya diriku, membohongi mereka hanya demi cewek yang tega menyakitiku. Mama, semoga kau baik-baik saja di sana. Andai saja aku bisa pulang ...
Tapi tujuanku bukan hanya itu. Aku ingin bebas dari belenggumu, Ma. Maafkan aku berkata seperti itu. Tapi benar, di antara rasa kangen yang kurasakan masih terselip rasa marah karena sikap mama. Teganya memberikan peraturan tak tertulis yang wajib jalani. Nyatanya itu lebih seperti penjara.
Terkurung, tak bisa berekspresi. Memandang duni luar. Menikmati keagungan Tuhan. Sayang sekali alasannya tidak bisa kuterima. Katanya semua demi kebaikanku, agar aku tidak kenapa-kenapa? Nyatanya aku anak cowok yang beranjak dewasa. Butuh belajar untuk hidup sendiri. Butuh kebebasan yang sebenarnya.
Andai aku seorang pangeran yang terancam diculik dan dibunuh dari pihak istana musuh, okelah, aku menurut. Tapi aku cowok biasa. Cowok yang tak bisa berdiri karena terbiasa dimanja.
Ah, lagi-lagi air mataku menetes pada baris atas. Tinta yang baru kutuliskan sudah tidak berbentuk. Tak apalah, yang penting keluh kesahku tetap dapat tertampung.
Aku harus tetap di sini. Membuktikan pada dunia, aku bisa mandiri. Melupakan cinta yang telah menyakitiku. Menyadarkan pada mama, aku remaja cowok yang beranjak dewasa.
Favian.
***
sumber gambar : https://pixabay.com/static/uploads/photo/2014/09/22/00/56/diary-455756_960_720.jpg
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...