BAB 4 | Pergi

512 24 31
                                    

Keidupan mempunyai dua batasan, yaitu harapan dan ajal. Dengan harapan, kehidupan lestari. Dengan ajal, kehidupan berakhir.

(Anonim)

Favian

Bangku di sebelahku masih kosong. Tadi pagi, aku tak mengajak Farren berangkat bersama, karena memang ia tidak meminta. Lagipula kemarin sudah jelas benar, bahwa Farren tidak ingin diganggu. Dan aku paham itu. Namun belum terlihat batang hidungnya hingga jarum jam menunjuk pukul tujuh kurang lima menit. Aku malah risau.

Aku mengutuki diriku sendiri. Kenapa tidak mengajaknya bareng ke sekolah, apa pun responnya. Sayangnya, aku terlalu takut dengan Farren. Lebih tepatnya, takut kehilangannya. Kalau sudah begini, aku hanya bisa menunggu kedatangannya yang mungkin terlambat.

Bel masuk sudah berbunyi. Bangku sebelahku masih melompong.

Aku semakin risau, karena selepas jam pelajaran pertama, batang hidung Farren masih belum nampak. Satu kabar pun belum ia terima.

HP-ku bergetar. Langsung kuraih HP di dalam saku celana dan membukanya. Sial! Dikira setangkup kabar dari Farren, ternyata hanya Anggrek yang sekedar SMS say hello saja.

"Anggrek, ini bukan waktu yang tepat," gerutuku pelan.

Kumain-mainkan HP-ku dengan tangan. Menghubungi Farren atau tidak? Tapi aku benar-benar khawatir. Terakhir melihat Farren dengan wajah yang memprihatinkan. Pucat pasi.

Tidak ada pilihan lain, aku langsung mengetik SMS untuk Farren.

SMS terkirim.

Namun tak ada balasan. Aku semakin khawatir. Langsung kutelepon ia. Nihil. Tak ada jawaban. Berkali-kali kucoba, namun tak berhasil. Hingga kuakhiri itu semua, saat guru Bahasa Inggris masuk dan memulai pelajaran.

Drttt... drrrrtttt...

HP-ku bergetar. Diam-diam kuambil HP-ku di saku, kemudian membukanya. Ternyata SMS dari Farren. Ia senang, karena akhirnya Farren memberi kabar.

Langsung saja kubuka, namun aku terperanjat, mataku terbelalak, jantungku tiba-tiba bergetar hebat, saat membaca SMS tersebut.

Fa, maafin salah gue selama ini...

Terima kasih untuk semuanya...

Gue harus pergi dari hidup rumit gue...

Tanganku gemetaran. Jantungku berdetak hebat. Apa maksud ini semua. Kenapa kamu Ren...

Aku kalang kabut. Harus bagaimana, da berbuat apa? Jam istirahat masih lama, sedangkan Bu Murni masih menerangkan tentang ujian praktek Bahasa Inggris yang akan ditempuh nantinya.

Aku kebingungan. Aku takut, jika harus pergi sekarang. Harus ijin apa kepada guru piket untuk keluar? Sekolah ini tertib, dan aku tak pernah melanggar tata tertib. Disiplin! Tuhan... bagaimana ini....

Demi Farren, kuberanikan diri untuk ijin ke toilet. Rencananya, aku akan kabur lewat dinding pagar belakang. Itu jalan satu-satunya yang biasa digunakan kabur Farren dan siswa lain. Pagarnya tak terlalu tinggi, dan ada timbunan pasir di bawahnya, yang memudahkan siapa saja untuk memanjat dinding tersebut.

Aku berdiri dan berjalan ke depan menghampiri Bu Murni. Kakiku bergetar, dan segera kuatur diriku. "Permisi, Bu... ijin ke belakang...."

Bu Murni mengangguk. Aku lega, namun ini belum selesai. Aku harus bisa kabur dari sekolah ini. Ya, itu yang terpenting. Ini pelarianku yang pertama. Gara-gara sudah kehabisan ide. Seolah ada kekuatan yang mengisi diriku, yang mampu mendorongku untuk kabur.

My Bromance [18+] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang