BAB 10 - Journey

294 11 11
                                    

Manusia hanya bisa merencanakan. Tuhanlah yang menentukan.

(Pepatah lama)


Sejam kami menunggu dengan gelisah. Di sisi lain hatiku khawatir dengan mama. Sisi lain hatiku ingin cepat meninggalkan Jakarta, dengan mulus tanpa sedikitpun halangan. Ada secuil ketidaksiapan pada diriku meninggalkan Jakarta, meninggalkan mama. Apalagi dengan cara seperti ini. Kabur.

Bagaimanapun juga meski sudah muak dengan sikap mama, mama tetap mama. Orang yang melahirkaanku dan memberi kehidupan buatku. Mama adalah orang terdekatku. Meski selama ini menyebalkan.

Siapkah aku pergi? batinku.

Kereta datang. Orang-orang yang sudah sebal menunggu hampir satu jam berhamburan masuk ke dalam kereta. Termsuk aku dan Farren.

Langkah kakiku terasa berat. Aku masih ragu. Tapi tak ada pilihan lain selain pergi. Semuanya sudah terencana. Semuanya sudah menjadi keinginanku. Pergi. Itu pilihan yang menurutku tepat untuk saat ini. Entah nanti.

Dalam kereta, aku terus memandang ke arah luar jendela. Hatiku belum mantap seratus persen. Berat sekali kepergianku saat ini. Tapi ... ini yang kucari selama ini. Arrrgh.... Gara-gara telepon dari mama tadi.

"Fa, kita mulai bertualang." Farren terlihat bersemangat.

Kelihatan benar sorot matanya, raut wajahnya. Membara. Ia yakin akan mendapat kehidupan lebih menyenangkan, tanpa berbalik ke belakang.

"He em," jawabku super singkat. Tak bersemangat.

"Ini kan yang lo tunggu? Yang lo inginkan?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. "Semangat dong. Nanti kira-kira jam tiga dini hari kita sampai Surabaya."

Aku mencoba tersenyum. Meski terpaksa. Bagaimanapun juga ini sudah menjadi pilihanku. Tepat atau tidaknya, biar waktu yang menjawab.

Kereta terus melaju menyusuri rel. Sesekali transit di beberapa stasiun. Menurunkan dan menaikkan penumpang.

...

Kebetulan malam itu

Cuacanya terang bulan

Kumelihat ke kiri kanan

Hai indahnya pemandangan

Sayang tak lama kantukku datang

Hingga tertidur nyenyak sekali

...

Malam merangkak semakin legam. Udara mendadak dingin menusuk tulang. Aku terjaga. Kurekatkan jaketku. Kusandarkan lagi kepalaku di kursi kereta. Kulihat Farren di sampingku tetap terlelap. Setelah kurasa cukup hangat dan posisiku nyaman, aku kembali memejamkan matanya.

***

Kudengar banyak langkah kaki dan riuh. Kami terbangun. Rupanya kereta sudah berhenti. Kami bergegas keluar karena tinggal beberapa orang saja di dalam gerbong. Itupun baru saja bangun dari tidur, seperti kami.

Perjalanan malam dengan kereta benar-benar tak terasa. Dan satu hal, pemandangan tadi malam memang indah.

Pertama kali menginjakkan kaki di Stasiun Gubeng, langsung disambut semilir dingin yang menggrayangi tubuhku. Menusuk-nusuk tulang, melumpuhkan persendian.

Kurekatkan jaketku lagi. Aku kedinginan.

"Ayo cari yang hangat." Farren menggandengku keluar stasiun. Aku ikut saja.

Tunggu dulu, apa maksudnya cari yang hangat? Apa dia akan mendekapku? Tidak-tidak. Apa yang kupikirkan.

Rembulan masih tersenyum di langit Surabaya. Bintang-bintang masih nampak bertabur di langit. Kami menyusuri sekitaran luar stasiun. Hingga pada akhirnya Farren menggandengku menuju angkringan di pojokan. Sederhana.

My Bromance [18+] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang