Cuaca demi cuaca melalui kami, dan kebenaran akan semakin dipojokkan. Sampai akhirnya nanti, badai meletus dan menyisakan kejujuran yang bersinar. Entah menghangatkan, atau menghanguskan.
(Dee, Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade)
Favian
Farren sepertinya sudah pergi ke alam mimpi sejak tadi. Pulas benar tidurnya. Duh, sampai TV-nya lupa dimatikan. Aku segera mengambil remote yang tergeletak di samping Farren, kemudian mematikan siaran berita tengah malam.
Ingin tidur, tapi ... entahlah, rasanya ingin tetap terjaga sampai esok datang. Tak jadi berbaring di dalam, aku keluar lagi. Duduk di kursi plastik di depan kamar kost Willy. Sebelumnya kututup pintu kamar Willy. Aku memandang langit lagi. Masih sama. Bulan terlihat remang di antara awan.
Hiruk pikuk jalanan masih terdengar. Memang Bali tak pernah tidur. Ramai kapan pun waktunya.
Kudekap buku yang berjasa padaku, menampung segala tumpahan emosi dan amarah, serta kesedihan dan kegembiraan yang kulalui. Ah, ia benar-benar menjadi teman setiaku. Hingga pada akhirnya mataku pelan-pelan tertutup dan aku tak ingat lagi apa yang terjadi.
***
Farren
Rasanya ada sinar yang mengenai kepalaku. Ah, perlahan kubuka mataku, kukucek-kucek sebentar, ternyata sudah ada Willy di dalam. Tengah menonton TV dengan seriusnya. Aku menguap saat bersamaan dengan menggeliat. Kupandangi arah sinar yang mengenai kepalaku. Silau.
Ternyata cahaya matahari yang menerobos dari jendela yang tirainya terbuka. Aku teringat tadi malam, apakah aku lupa membukanya atau Willy yang tadi membukanya. Entahlah, tak jadi soal.
"Udah pagi, ya," kataku pada Willy yang matanya masih terpaku pada siaran TV.
Willy menoleh ke belakang, kearahku. "Sudah dari tadi. Mau gue bangunin tapi nggak tega. Pules bener."
Kupandangi seluruh ruangan. Aku belum menemukan sosoknya sejak mataku terbuka. "Favian mana?"
"Tuh di luar," tunjuk Willy ke luar jendela, "ngapain dia tidur di luar?"
"Ha?" aku bangkit dan melongok sedikit keluar jendela. Dan benar kelihatan sedikit kepalanya. Kenapa tadi tak sempat kuperhatikan saat aku mentapa ke arah jendela. Hmmm. "Kok bisa di luar, ya? Aku tadi malam tidur dulu, sih."
"Entahlah."
"Mungkin dia ketiduran. Tadi malam katanya cuma pengen sendiri, makanya ke luar."
Willy ber-oh. Kemudian memalingkan wajahnya, menonton acara TV lagi. Teryata yang ditonton kartun Spongebob. Si kotak spons yang tolol itu. Itu tontonan anak kecil tapi tak membosankan juga ditonton segala usia. Hmmm, mungkin termasuk si Willy.
Ckelek.
Pintu kamar mandi terbuka. Adam yang hanya mengenakan celana pendek keluar. Handuknya di kalungkan di lehernya. Tubunya terlihat segar.
"Sudah bangun ya, Ren?" tanyanya.
"He eh. Barusan."
"Yaudah sana mandi dulu, ntar langsung ke hotel. Kalian bisa langsung kerja nanti." Willy menerangkan. Padahal matanya masih terpaku pada kotak kuning berjalan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...