"Sahabatmu adalah kebutuhan jiwamu yang terpenuhi. Ia ladang hati, yang dengan kasih kautaburi dan kau pungut buahnya penuh rasa terimakasih. Kau menghampirinya di kala hati gersang kelaparan, dan mencarinya di kala jiwa membutuhkan kedamaian. Jangan ada tujuan lain dari persahabatan kecuali saling memperkaya jiwa."
(Kahlil Gibran)
Favian
Jika ditanya, "Siapa sahabatmu?" Aku langsung menjawab, "Farren Frederiko."
Jika ditanya lagi, "Siapa sahabat terbaikmu?"
"Tetap Farren Frederiko," jawabku lantang.
Ya, ia yang pada awal pertemuan dan perkenalan sungguh biasa-biasa saja, bahkan bersikap tak acuh. Gaya premannya sudah membuatku males tuk membangun pertemanan. Namun Tuhan telah mengatur semuanya, hingga perlahan kita saling mengisi, memperkaya jiwa, menjalin persahabatan sejati. True Friend.
Yang lain? Ah, modus mereka sama saja; akan datang dikala butuh, dan pergi, bahkan lupa ketika sedang berada di atas angin. Bahkan mereka akan menjadi lupa siapa yang pernah mengisi harinya. Aku sudah hafal ciri-ciri orang seperti itu. Maka dari itu aku selalu mejaga jarak siapa saja yang baru dekat denganku. Jujur saja, aku memang pilih-pilih.
Dari Farrenlah, aku tahu arti persahabatan. Bukan hal mudah atau sekejap saja kepercayaannya terpatri pada Farren, melainkan butuh proses. Siapa sangka ia yang dingin ternyata punya pribadi yang rapuh dan masa lalu yang menyedihkan. Siapa sangka ia yang urakan dan mbeling bisa bersahabat dengan aku yang bisa dibilang 'alim', lugu dan tertutup.
Bahkan kabar-kabar tak mengenakan selalu menghampiri kupingku. Farren hanya memanfaatkan kekosongan hidupku, atau karena aku tajir, atau apalah. Aku sudah tidak peduli. Ya, karena aku terlanjur memahat kepercayaan pada Farren.
Memang awal masuk semua orang terpana melihat Corrona yang kuparkir di parkiran guru. Itu Corrona milik mama sebenarnya.
***
Aku masih terpikir tentangnya malam ini. Selepas menulis diary—yang sudah menjadi kebiasaanku sejak SMP—aku termenung. Terlentang di atas kasur memandang langit-langit berwarna biru muda.
Selain orangtuanya, hanya Farren yang mengetahui kalau aku suka menulis diary. Aku malu jika ada orang yang tahu, dan aku percaya Farren tak akan membocorkan aib itu. Ya, aku menyebutnya aib, karena sungguh sangat jarang bahkan tidak ada seorang cowok menulis diary. Ah, itu pekerjaan cewek. Tapi sungguh aku tak bisa meninggalkan kebiasaan itu. Sudah terbiasa. Sehari saja tak menumpahkan isi kepala, rasanya kepala mau pecah saja.
Jelas buku diary-ku tak bersampul merah muda, bergambar Teddy Bear seperti dalam sinetron-sinetron, cukup buku catatan tebal saja. Yang penting nyaman buat nulis dan mudah disimpan.
Itu sebenarnya menjadi salah satu pelarianku. Salah satu caraku untuk menciptakan dunia sendiri. Karena perlahan aku tak hanya menuliskan curhatan saja, tapi semacam cerita dengan tokoh berbeda.
"Ren... aku tahu kamu menyembunyikan sesuatu...."
Aku sudah khatam raut wajahnya, lenggok tubuhnya, serta sikapnya. Saat ia sedang marah, ia akan diam seribu satu bahasa. Saat seperti itu, jangan sekali mengganggunya, karena jika kesabarannya habis, ia bisa ngamuk luar biasa.
Jika sedang sedih, ia akan berusaha tertawa, meski sebenarnya masih ketahuan kalau tawa itu palsu. Karena sorot matanya teduh. Dan itu yang kutangkap darinya tadi siang. Itu berarti ia sedang sedih. Tapi karena apa? sangat amat jarang sekali ia sedih. Dan Favian tahu, ia sedih jika apa yang membuatnya sedih sungguh berat untuk dipikulnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...