The eye sees only what the mind is prepared to comprehend.
(Henri Bergson)
Favian
Aku sudah muak melihat mukanya. Dan malam ini ia datang lagi. Membawa seikat bunga mawar merah. Kulihat sekilas, ada lima mawar yang dirangkai rapi. Aku memalingkan muka ke arah tembok di sampingku. Tak sudi melihatnya. Atau lebih tepatnya, takut ada rasa lagi. Entahlah.
"Nggrek, mau lo apa?!" tanyaku ketus. Aku masih belum menatapnya.
Ekor mataku menangkap ia sudah duduk di kursi samping ranjangku setelah meletakkan bunga mawar itu di atas meja.
"Pertama, maafin gue. Gue nggak bisa hidup dengan dihantui raasa bersalah yang berlarut-larut." Ia menghela napas. "Kedua, aku masih mencintaimu, jika bisa aku ingin kita jadian lagi. Aku janji tak akan mengingkari cinta lo lagi."
Lagi-lagi ia mengucapkan kata yang sama sekali tak bisa kuterima. Ya, dengan mudahnya kata itu meluncur dari mulutnya. Kuatur napasku. Kali ini aku ingin bersikap santai. Aku tak mau tensi darahku naik.
Aku menoleh ke arahnya. Kulihat ia sedang tersenyum, tapi mukaku sama, masam. "Nggrek, gue sudah sangat sakit. Melihat lo bersama cowok lain waktu itu. Lo cinta pertama gue, dan apa yang sudah lo perbuat sama gue?" Aku menggantung kalimatku. Sengaja, memberi ruang padanya untuk berpikir.
"Gue minta maaf." Ia tertunduk. Yang kulihat di sampingku hanya rambut legamnya yang indah.
"Lebih baik lo pulang," kubilang, "kumohon jangan temuin gue. Sudah setengah kenangan kita gue pendam. Dan gue nggak mau mengenang itu semua. Kuanggap kita nggak pernah kenal." Tega tak tega, aku harus tega.
Aku tak mau menguak semua kenangan dulu. Jujur saja, aku takut jatuh cinta lagi. Apalagi dengan seorang yang sama. Yang dulu sempat menorehkan cerita pilu di hidupku. Aku tak sanggup.
Kenangan itu tak pernah bisa lepas dari pikiranku. Perlahan muncul lagi. Lihat betapa manisnya kenangan itu. Saat aku merasa di dunia sendirian, Anggrek datang menemani meski lewat suara. Anggrek mampu menghibur. Ups. Bukankah ia memang cewek penghibur.
"Fa, lo cinta sejati gue." Anggrek masih ngotot. Kali ini ia menatapku dengan penuh permohonan. Kelopak matanya tergenang air mata.
"Gue harap juga begitu, tapi semua sudah terlambat. Aku terlanjur sakit melihat kenyataannya."
Aku tak tahu cinta apa yang diberikan Anggrek kali ini. Yang kutahu saat ini, aku tak mau sakit untuk yang kedua kalinya.
Anggrek pergi, saat kupalingkan wajahku ke dinding lagi. Aku tak bisa melihat cewek menangis, apalagi orang yang pernah aku cinta, namun sekaligus aku benci.
***
Farren
Gemerlap malam adalah dunia baru yang terpaksa kulalui. Alunan lagu, kerlap-kerlip lampu berwarna warni, dan orang yang haus akan hiburan, adalah teman baruku. Menyuguhkan pertunjukan yang memukau demi tepuk tangan dan selembar saweran.
Semakin malam, bar semakin ramai oleh pengunjung yang berdatangan. Meja-meja terisi penuh. Bahkan banyak yang rela berdiri dan tak jadi karena ruang itu sudah over. Ruang temaram itu terlihat begitu sesak oleh kumpulan manusia yang sedang menikmati malam.
Sudah rasanya sudah lama aku tak menjenguk Favian. Nyatanya baru dari kemarin malam sampai sekarang. Aku berjanji pada diriku sendiri, sepulang dari bar akan langsung ke rumah sakit, mumpung masih ada pakaian kerja di dalam tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...