BAB 6 | Prince Home

563 22 18
                                    

Kesunyian menyimpan semua yang ingin kita katakan dengan kasih sayang, semangat, dan dengan iman. Dan kesunyian, kalau tidak mengangkat doa-doa kepada Tuhan, akan membawanya ke mana pun kita inginkan.

(Kahlil Gibran)

Favian

Hari ini Farren keluar dari dunia kelamnya. Berani menatap mentari, melupakan awan mendung yang terlewati. Berusaha menjadikan itu semua tempaan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Memang kadang butuh sendiri untuk berpikir. Diam dalam sunyi. Mencari ketenangan jiwa. Namun jika masalah terlampau berat, sebaiknya tuangkan pada seseorang yang dipercaya, bukan mencari jalan pintas yang menyesatkan.

Farren kembali seperti sedia kala. Orang satu ini memang ajaib. Wajahnya cerah kembali, matanya berbinar, dan tingkah nakalnya mengisi hariku lagi. Membuat kelas gaduh lagi, dihukum lagi. Ini untuk menemaniku yang sudah dihukum menyapu halaman depan kantor guru. Daun-daun kering berjatuhan, karena memang tempat itu sungguh adem.

Dua pohon untuk penghijauan yang tidak kuketahui namanya tumbuh dengan rindangnya. Ada beberapa sarang burung pipit yang bertengger di antara batang pohon. Namun setiap pagi, daun keringnya tidak pernah absen mengotori halaman.

Sebenarnya sudah tak terhitung lagi berapa kali ia pernah di hukum. Bahkan semua guru sudah pernah menghukumnya. Ia yang tidak pernah fokus pada pelajaran, yang suka lari dari pelajaran hanya untuk merokok di kantin. Sedankgan ini adalah hukuman pertamaku. Bertolak belakang, kan?

Sebenarnya aku tak pernah tinggal diam melihat tingkah nakal sahabatku satu itu. Aku sudah menasehatinya. Apalagi ini sudah kelas tiga. Tapi, ya bagaimana lagi, itu memang karakternya.

Semakin ke sini, aku sadar, bahwa hidupku malah sepi jika Farren diam, seperti kemarin. Aku lebih suka ia yang selengekan, ia yang nakal, dan apa adanya. Yang penting masih dalam batasan. Yang terpenting lagi, ia tetap tahu sopan santu dan mau memakai topeng di depan orangtuaku. Karena orangtua ku jelas akan melarangku berteman dengan Farren jika tahu Farren yang sebenarnya. Farren selalu sukses dengan aktingnya. Pandai juga ia.

Farren lengkap dengan sapu lidi, menghampiriku yang sudah menyapu di bawah pohon. "Gimana rasanya dihukum? Asik kan? Nggak usah ikut pelajaran," kata Farren, setengah mengejek.

"Asik gimana? Capek tahu. Disapu, sudah bersih, eh ada lagi daun jatuh," keluhku sembari menyeka peluh di kening.

"Gini nih caranya." Farren naik ke dahan pohon. Kemudian mengoyak ranting-ranting pohon yang dapat dijangkaunya dengan tangan.

Daun-daun kering berjatuhan. Semakin banyak. Permukaan paving yang tadinya setengah bersih, kotor lagi.

Ha? Apa maksudnya? Emosiku naik seketika. "Gila lo Ren! Gimana sih? Udah capek-capek dibersihin dikotorin lagi!"

Namun ia tetap bersikap santai. "Tenang aja, habis ini nggak ada daun yang jatuh lagi, deh. Ayo bersihin."

Gila nih orang. Terpaksa aku harus kerja lagi.

"Kaya gini dong, Fa. Sekali-kali di hukum. Hidup kalau lurus terus itu nggak asik. Kudu belok-belok dikit."

"Lo, sih beloknya kebanyakan, Ren."

Kita berdua tertawa riang di bawah dua pohon yang rindang.

***

Capek menggelayuti. Tak konsen ketika pelajaran. Padahal ujian tinggal seminggu lagi. Harusnya amunisi sudah siap semua. Minggu-minggu terakhir sebelum ujian untuk bersantai. Mengistirahatkan otak yang bekerja terlalu keras untuk belajar.

My Bromance [18+] EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang