I can wipe the tears in my eyes... But...I can't wipe the pain in my heart... (Anonymous)
Farren
"Fa, gue pergi dulu, ya. Maaf nggak bisa nemenin, lo. Syukurlah aku dapat tawan nyanyi di kafe." Aku tersenyum.
Aku terpaksa berbohong padanya. Pekerjaan macam apa yang akan kulakukan saja aku belum tahu. Gampangnya ngaku kerja nyanyi saja, beres. Yang penting ia tak curiga dan dapat tenang. Tak memmikirkan soal biaya lagi.
"Nggak apa-apa, kok." Fafian membalas senyumku.
Langkahku agak ragu. Berat. Tapi bagaimana lagi? Tak ada pilihan lain untukku. Gajiku turun masih lima hari lagi. Sedangkan rumah sakit sudah melayangkan tagihannya. Jika hanya mengandalkan gaji, kurasa tak cukup untuk membayar biaya rumah sakit. Terus untuk kehidupan selanjutnya? Apa harus puasa lagi?
Bagiamanapun juga apa yang kuambil ini sudah kupertimbangkan matang-matang. Sayangnya memang aku tak punya pilihan lagi. Hanya satu, menerima tawaran Willy.
Aku naik ojek menuju ke hotel tempat Willy bekerja. Dari tadi HP-ku sudah dipenuhi SMS dari Willy, katanya sudah menunggu di parkiran. Jika ada pilihan lain, tak mungkin aku mengambil pilihan berat ini. Aku sebenarnya tak mau berurusan dengan Willy lagi.
Willy sudah menungguku di parkiran. Ia duduk di atas maticnya. Tangannya bersedekap, matanya tajam menatap ke arah kedatanganku. Ia marah.
"Lama sekali, lo! Mau kerja nggak?" Benar ia marah. "Sudah ditunggu dari tadi."
Wajahku tertunduk. Bukannya takut atau apa. Aku hanya tak enak dengannya yang sudah mau membantuku, "Sorry, Wil."
"Sudah ayo."
Aku segera naik ke matic Willy. Kami langsung melesat menyusuri jalan raya Kuta menuju ke daerah Seminyak. Kami berhenti di salah satu bar. Aku bingung. Bekerja apa aku di tempat semacam ini? Aku tak punya pengalaman jadi bartender.
***
Favian
Mataku terbuka pelan. Kuraih HP di sambing bantalku. Jam sembilan malam, dan aku baru terbangun setelah tadi disuntik suster lewat slang infus. Suasananya begitu sepi. Sepertinya pasien lain baru tidur.
Semua tirai yang mengitari ranjangku tertutup, dan tak ada siapa pun selain aku. Aku sendiri di sini.
Mataku menyisir setiap ruang kecil ini. Aku heran saat melihat sekeranjang buah beraneka ragam nangkring di meja kecil berwarna putih tulang, di samping ranjangku.
Aku bangkit dan duduk. Kemudian kuraih keranjang tersebut dan kuletakkan di atas pangkuannku. Kuperhatikan keranjang tersebut dengan detail. Namun aku tak menemukan satu petunjuk pun. Kupandangi lagi ruang tertutup ini. Mencari tahu petunjuk yang dapat menjelaskan dari siapa keranjang ini. Teryata ada kertas tertinggal di atas meja, yang tadi tertindih keranjang tersebut, aku segera mengambil dan membaca tulisannya.
Semoga cepat sembuh
Maaf aku telah mengecewakanmu, bukan maksudku untuk begitu, aku dipaksa keadaan.
Aku mengernyitkan dahinya. Siapa yang mengirim ini? Orang yang kukenal di sini hanya Farren, Willy dan Adam. Farren tak mungkin pakai acara mengirimkn buah seperti ini, sedangkan Willy dan Adam? ... nggak mungkin kalau melihat dari isi pesan tersebut. Terus apa maksud pesan itu?
"Apa yang ngirim salah orang?" tanyaku pada diri sendiri.
Aku bingung, heran, dan penasaran. Sekali lagi mencerna pesan tertulis di kertas tersebut, tapi tak menemukan jawaban siapa yang mengirim itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Bromance [18+] End
RomanceJangan lupa follow dulu ya. Lebih baik baca aja dulu, siapa tahu suka. 18+ dan buat yang open minded. . --Favian Jika boleh terlahir kembali, aku ingin lahir seperti Farren: bebas. Tak ada kekangan dari orang tua, harus ijin ini-itu sebelum berbua...