Episode 8

6 2 0
                                    

Selamat membaca teman-teman. Semoga terhibur dengan cerita di episode ini yaaww...
Selalu dukung Biru Zen terus yaw dan boleh bantu vote jugaaaaa!!!!

Darah mulai menggenangi lantai yang dingin. Luna mendekap mulutnya dengan tangan, terkejut melihat ibunya yang sudah tak bernyawa tergeletak di sana. Napasnya seakan berhenti di saat itu juga. Luna mematung. Badannya sulit digerakkan.

Nino menangis kencang di sana. Dia memangku kepala ibunya yang sudah setengah hancur. Dia memeluk leher ibunya yang masih utuh. Air matanya meluncur deras di atas badan ibunya.

Pria itu menodongkan kembali laras panjangnya. Kali ini kearah Nino. Pria itu siap menembakkan pelurunya. Luna bergegas berlari kearah Nino.

"JANGANNNN!!!!!!!" Luna berteriak kencang.

Pria itu terkejut. Dia menurunkan laras panjangnya. Menatap Luna dengan tatapan tajam.

"Tolong jangan bunuh Adikku. Aku sudah hancur melihat Ibu yang tergelatak tak bernyawa di sini. Jangan bunuh Adikku...." Luna jatuh terduduk. Badannya masih mengalingi jasad ibunya dan adiknya.

"Kamu tidak perlu mengirim uang lagi kemari. Jadi, biarkan Nino hidup. Aku akan membiayai semua keperluan Nino. Tidak perlu kamu lagi." Luna terisak. Dia menyeka air mata di ujung pipi.

Suara bising terdengar dari luar. Banyak warga yang mulai berdatangan ke rumah Luna setelah mendengar suara temabakan.

"Jika kamu mau Nino tetap hidup, buatlah mereka pergi dari sini." Pria itu menyimpan laras panjangnya ke dalam kain.

Luna mengangguk, dia beranjak dari duduknya. Melangkah menuju pintu. Membukanya dengan perlahan. Luna berdiri di depan semua warga. Mereka ricuh, ingin tahu ada apa.

"Luna, apa baik-baik saja di dalam? Seperti ada suara tembakan dari dalam." Salah satu warga bertanya cemas.

"Ah itu... Nino sedang bermain petasan. Dia tidak tahu bahwa tidak boleh main petasan di dalam rumah, Ibu memarahinya. Karena itu dia menangis." Suara Luna bergetar.

"Benarkah? Lalu kenapa kamu menangis, Nak?" Seorang wanita paruh baya mengelus pipi Luna.

"Aku mencoba melindungi Nino dari amarah Ibu. Ibu jadi menyerangku. Tapi itu bukan masalah besar. Masalah besar akan terjadi jika kalian tetap di sini dan menciptakan kebisingan." Luna menundukkan kepalanya.

"Baiklah, Nak, kami akan pergi. Syukur jika kalian baik-baik saja."

Mereka satu persatu pergi meninggalkan halaman rumah Luna. Gadis berambut pirang itu kembali ke dalam rumah.

Saat pria itu tahu warga sudah bubar di luar, dia mendekati Luna. Menarik kencang tangan Luna. Luna tersentak kaget. Dia mencoba melawan, namun percuma. Badan kecil Luna tidak akan bisa menang dari pria dewasa.

"Lepaskan aku. Lepaskannnn!!!!" Luna berteriak.

Pria itu mengambil tali yang tersimpan di bawah tangga. Dia mengikat Luna di rongga pegangan tangga. Dia mengikatnya dengan kuat. Luna menjerit kesakitan. Pria itu menyeret Nino. Melemparnya sembarang. Pipi Nino berdarah tersayat ujung tembok yang tajam.

Nino tidak bisa melawan. Badan kecilnya terkapar lemas. Pria besar itu mengambil taplak meja hitam yang tergeletak di meja makan. Dia membungkus jasad Nuri ke dalam kain itu.

"JANGAN SENTUH IBUKUU!!!!!" Luna mencoba melepaskan ikatan tali yang menjeratnya itu. Namun, hasilnya nihil.

"DIAM! ATAU KAU AKAN KUBUNUH BERSAMA ADIKMU SEKALIAN!" Wajah pria itu merah padam. Menyeramkan.

Luna menangis. Air matanya terjun begitu saja. Luna tak sanggup melihat jasad ibunya yang di bungkus oleh kain kotor itu. Luna juga tak tega melihat adiknya yang terkapar lemas di sana.

LuKa, juga sebuah cerita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang