Episode 24

2 1 0
                                    

Selamat membaca teman-teman. Semoga terhibur dengan cerita di episode ini yaaww...
Selalu dukung Biru Zen terus yaw dan boleh bantu vote jugaaaaa!!!

Dengan tangan gemetar, Luna membuka pintu itu. Ken menjatuhkan Jane begitu saja. Ken berbalik badan, dia menatap Luna sejenak. Lalu, pergi meninggalkan Jane yang terkapar lemas.

"Jane, kamu tidak apa-apa?" Luna berlari ke arah Jane.

Luna membantu Jane untuk duduk di kasurnya, lalu memberinya air minum.

Air mata Jane berjatuhan begitu saja. Isakan tangisnya, menghiasi kamar yang redup ini. Luna menatap Jane cemas. Lantas memeluknya erat.

Luna mengelus rambut Jane dengan lembut. Pelukan yang belum pernah dirasakan Jane sebelumnya. Pelukan seorang Kakak.

Beberapa menit lenggang.

Jane lebih tenang sekarang.

"Terimakasih, Kak Luna." Jane tersenyum.

Luna mengangguk dengan ramah.

"Apa surat yang kamu ingin titipkan ke Nino sudah selesai ditulis?" Jane membuka topik obrolan.

"Oh, iya, aku sudah selesai menulisnya. Aku juga membawanya. Terimakasih, Jane." Luna menyerahkan surat yang ia tulis.

"Kak, apa kamu bersedia memanggilku 'Maya' saja? Aku benci nama 'Jane'" Jane menatap Luna.

"Maya? Kenapa begitu?" Luna bertanya bingung.

"Namaku Janethya Mayari. Nama panggilanku memang dari awal Jane. Namun, aku tidak pernah memperkenalkan diriku dengan nama itu. Bahkan ke teman-teman sekolahku.
Nama 'Janeth' itu di ambil dari namam Kakak, yaitu 'Keneth'. Ibu memang sengaja memberikan nama kami dengan mirip.
Kami tumbuh besar bersama. Saat kecil, Kakak menyayangiku sama seperti kakak-kakak lainnya. Namun, setelah kami sekolah di sekolah yang sama, Kakak mulai berubah.
Kakak memang pintar dan cerdas, tapi aku tidak. Kakak pernah bilang dia malu mengakuiku sebagai adiknya.
Itu merusak reputasi keluarga.

Ayah sih, tidak pernah memaksaku untuk terus belajar. Ayah juga tidak terlalu pintar. Sama sepertiku. Ayah sangat sayang padaku. Namun, Ayah selalu tunduk pada Ibu. Dia benar-benar tidak berani melawan. Karena itu, Ayah sulit untuk membelaku." Jane menatap foto Ayahnya yang terpajanng di dinding.

"Kenapa Ayahmu bisa setunduk itu?" Luna bertanya.

"Ayah pernah bilang, orang bodoh dan miskin sepertinya, tidak pantas untuk membela diri. Aku pernah mendengar percakapan itu saat Ayah berbibacara pada Paman Leonardo.
Ayah menikah dengan Ibu, karena di jodohkan oleh Nenek. Aku tidak tahu mengapa Nenek menjodohkan mereka. Dan aku juga tidak tahu kenapa Ibu setuju.

Terkadang, hatiku sakit sekali saat melihat Ayah yang diinjak-injak harga dirinya oleh Ibu. Ayah hanya bisa menunduk. Tidak berani melawan.
Bahkan, saat Ibu menyuruh Ayah untuk pergi meninggalkan rumah ini, saat hujan badai, Ayah akan tetap pergi.

Ayah selalu mengikuti Paman Leonardo kemanapun dia pergi, Ayah bekerja pada Paman Leonardo untuk membiayai hidupnya sendiri. Ibu memang membiayaiku dan Kakak, karena Ibu tahu dia tidak bisa mengandalkan pekerjaan Ayah. Namun, Ibu tidak menanggung biaya hidup Ayah. Terkadang Ayah juga membelikanku banyak barang yang imut dari uang hasilnya bekerja.

Ayah menyayangiku, lebih daripada menyayangi dirinya sendiri. Kami sama. Kami bodoh. Tapi, dia bukan Ayah yang payah. Dia Ayah yang hebat."

Jane meraih boneka yang dihadiahkan oleh Ayahnya. Dia mengelus boneka itu dengan lembut.

Luna sedikit terkejut mendengar cerita itu. Dia melihat James selalu terlihat harmonis dengan istrinya. Namun, ada kisah kelam di dalamnya.

Suara langkah kaki terdengar dari luar. Seseorang mengetuk pintu dengan lembut.

LuKa, juga sebuah cerita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang