Episode 13

8 2 0
                                    

Selamat membaca teman-teman. Semoga terhibur dengan cerita di episode ini yaaww...
Selalu dukung Biru Zen terus yaw dan boleh bantu vote jugaaaaa!!!

"Iya." Luna menjawab singkat.

"Dia itu, termasuk top 3 anak terpintar di kelasnya loh. Dia masuk di nomor 2." Ken menyilangkan kakinya.

"Benarkah?" Luna bertanya antusias.

"Iya. Benar. Dia bahkan lebih cerdas dari Adikku. Adikku di nomor 4. Adikku memang payah untuk standar keluarga kami." Ken menyerigai.

"Wahh!!! Ternyata Nino sepintar itu ya? Aku harus bekerja keras untuk membiayai sekolah Nino." Luna bergumam.

"Kamu kakak yang baik, Luna. Kamu terlalu baik untuk di sebut 'manusia'. Kamu tidak menyimpan dendam. sedikit pun kepada adikmu." Ken menatap lantai pualam.

Luna hanya tersenyum manis mendengar kata-kata Ken. Luna memang tidak pernah sama sekali menyimpan dendam kepada adiknya itu. Luna selalu menggangap Nino adalah adik yang baik. Adik yang pintar. Adik yang penurut pada Ibu.

"Aku pindah kedepan, ya?" Ken berdiri dari duduknya. Luna mengganguk.

Acara terus berjalan dengan lancar. Beberapa waktu kemudian, acara penutupan selesai. Orang tua murid dan para guru-guru mulai meninggalkan aula ini. Luna juga ikut keluar dari aula yang sudah mulai kosong ini.

Nino menunggu Luna di depan pintu aula. Nino melambaikan tanngganya kepada Luna. Gadis berambut pirang itu sadar, bahwa adiknya menunggunya di ujung pintu aula.

"Nino, penampilanmu keren. Aku sampai tidak bisa mengalihkan pandanganku." Luna mengelus kepala Nino.

"Itu terlalu berlebihan." Nino berdecik.

"Setelah ini kita mau langsung pulang?" Luna bertanya.

"Iya. Tapi ke kelasku dulu, mengambil tas." Nino berjalan lebih dulu.

Mereka berdua berjalan melewati lorong yang ramai. Satu-dua orang menatap Luna. Namun, Luna acuh.

Nino membuka pintu kelasnya. Menggandeng tangan kakaknya itu. Nino yang hendak mengambil tasnya, di hadang oleh salah satu temannya.

"Hei, itu kakakmu ya? Yang kamu bilang dia itu jelek, galak, dan pemalas itu?" Anak laki-laki itu berkacak pinggang. Tersenyum sombong.

Luna terdiam. Dia termangu. Dia tahu sekarang, bahwa adiknya sering mengolok-olok Luna kepada temannya.

"DIAM!!!" Nino berteriak kencang.

Anak itu lantas kaget, dia tidak menyangka, Nino, anak yang selalu terlihat tenang bisa berteriak sekencang itu. Nino yang panik, mendongak menatap Luna.

Badan Luna bergetar, matanya berkaca-kaca. Luna melepaskan genggaman tangannya, lalu berlari keluar kelas. Nino yang cemas, segera meraih ranselnya. Menggenakannya, dan berlari mengejar Luna.

Luna berlari tanpa arah. Entah mengapa ia berlari menjauh. Gadis berambut pirang itu menyeka air mata di ujung pipi. Hatinya seperti tersayat pisau tajam saat menghadapi kenyataan barusan.

Nino, adik kesayangannya, selalu mengolok-olok dirinya. Padahal Luna sudah bekerja keras untuk membiayai semua kebutuhan Nino. Luna rela putus sekolah hanya untuk membiayai sekolah Nino.

Pandangan Luna buram. Air matanya menggenang di ujung mata. Dia tidak bisa melihat dengan jelas jalan di depan, dia hanya terus berlari tanpa tahu jalan.

Luna yang hendak berbelok ke sebuah lorong, malah menabrak seseorang. Luna hampir terjatuh karena menghindar. Namun, orang itu menahannya.

"Luna?" Luna segera mengelap air matanya.

"Eh, Jen." Luna buru-buru memperbaiki posisi berdirinya

"Ken, Luna. Bukan Jen." Ken tersenyum getir.

"Ah, iya, Ken." Luna tersenyum.

"Mengapa kamu menangis? Apa karena adikmu?" Ken bertanya.

Luna terdiam. Dia menundukkan kepalanya.

"Ternyata benar, ya." Ken menghela napas panjang.

"Apa Nino memang sering mengolok-olokku, Ken?" Luna meremas tangannya.

"Aku kira kamu tahu. Ternyata tidak ya? Pantas saja kamu mau memperjuangkan Nino sampai seperti itu." Ken menuntun Luna untuk duduk di bangku panjang yang dekat dengan mereka.

Luna terdiam lagi. Dia sedang berpikir. Memangnya untuk apa dia selama ini bekerja keras? Untuk apa dia putus sekolah hanya untuk bekerja keras setiap harinya? Untuk apa?

Luna dipenuhi dengan pertanyaan yang menghantui dirinya.

"Jadi, apakah kamu masih mau bekerja keras hanya untuk adikmu, Luna?" Ken melirik Luna.

"Entahlah." Luna menjawab singkat.

"Dia bukan adik kandungmu, bukan? Buang saja dia. Bukankah dia tidak lagi berguna bagimu? Jika aku menjadi kamu, aku akan ikut membuangnya kelaut saat dia tertidur lelap." Ken melukis tawa yang aneh. Seperti tawa yang penuh rasa dendam.

"Itu terlalu kejam. Aku sudah memutuskan, dia itu Adikku. Anak dari Ibuku. Aku harus menjadi tulang punggung baginya." Luna menaikkan kakinya, melingkarkan tangannya di kedua betis.

Ken berdiri dari duduknya. Tangannya di masukan kedalam saku celana, berjalan dengan postur yang tegak. Langkah kakinya benar-benar teratur dan rapih.

"Kamu itu.... Sama seperti Ayahmu, ya, Luna. Terlalu lugu dan..." Ken bergumam.

Luna hanya bisa menatap Ken dari kejauhan. Melihat sosoknya yang mulai menghilang dari lorong gelap ini.

Ken menuju ruangan perpustakaan yang tidak jauh dari sana. Masuk ke dalam sana, dan keluar membawa sebuah buku di tangannya.

Ken yang berjalan di hamparan rumput hijau, di taman sekolah, melihat Nino yang terduduk di sebuah bangku taman. Dia hendak menghampiri Nino yang terduduk di taman, namun urung.

Seorang gadis berambut pirang berlari menghampiri Nino lebih dulu. Rambut panjangnya berantakan, diterpa angin.

Luna memeluk adiknya yang terduduk di bangku itu sendirian. Lagi dan lagi, Luna merasa bahwa ini salah dirinya.

"Maafkan aku, Nino. Tidak seharusnya aku bersikap seperti itu." Luna mengeratkan pelukannya.

"Harusnya aku yang minta maaf, Kak."

Ken berdecik. Dia kembali melangkahkan kakinya. Dia menyusuri lorong besar yang di hiasi jendela-jendela kaca dan menyediakan pemadangan taman. Dia berjalan dengan anggunnya.

                             ***

Siang hari dengan udara yang panas, Luna berjalan menuju toko roti yang biasa ia kunjungi. Luna mendapat hari liburnya. Dia memutuskan untuk bermain bersama Jaka seharian ini.

Tercium bau roti yang harum dari luar toko roti. Luna membuka pintu toko itu. Lonceng kecil berbunyi.

Haris yang sedang memegang telepon kabel, mengarahkan pandangannya kepada Luna. Wajahnya nampak cemas. Haris menutup telepon itu, lalu berjalan menghampiri Luna.

"Luna, akhirnya. Ada yang ingin aku tanyakan." Haris sedikit membungkukkan badannya.

"Mau tanya apa, Mas?" Luna mengerutkan dahi, bingung.

"Apa kamu melihat Jaka selama beberapa hari terakhir? Jaka sudah hilang selama tiga hari. Dia tidak datang kerja, aku kira dia sakit. Tapi, waktu aku jenguk di rumahnya, dia juga tidak ada. Aku terus menunggunya, dan hari ini, aku memutuskan melaporkan ini kepada polisi."

"Apa? Jaka hilang? Bagaimana bisa, Mas?" Luna bertanya cemas.

"Aku juga tidak tahu, Luna. Aku juga sedang mencarinya. Aku juga akan minta tolong sama Harun dan Vita." Haris mengigit bibir.

"Padahal sudah beberapa hari ini aku tidak bertemu Jaka karena sibuk. Terakhir kali kami bertemu, saat Jaka bilang aku cantik ... " Luna terdiam.

Terimakasih sudah membaca teman-teman!!! Nantikan episode selanjutnya yawwww!!!

LuKa, juga sebuah cerita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang