Episode 7

7 2 0
                                    

Selamat membaca teman-teman. Semoga terhibur dengan cerita di episode ini yaaww...
Selalu dukung Biru Zen terus yaw dan boleh bantu vote jugaaaaa!!!!

Luna dan Jaka keluar dari kelas yang sudah sepi itu. Menutup pintu kayu yang sudah sedikit usang. Luna terus mendorong kursi roda milik Jaka.

"Jaka, apa kamu mau melihat pantai? Matahari sudah mau tenggelam. Pantai pasti sangat indah."

"Yah, masa aku tidak bekerja. Ini saja sudah telat pulang. Gajiku akan dipotong dong. Bagaimana ya? Tapi jika aku baru bekerja sekarang juga sudah tanggung. Hmmm..." Jaka menghela napas panjang.

"Yasudah deh, kapan-kapan saja." Luna kembali fokus melihat jalanan yang sepi.

"Baiklah, ayo kita menuju pantai. Tapi sekali ini saja, ya." Jaka mendongakkam kepalanya.

Luna tersenyum. Lantas mengangguk keras. Luna mendorong kursi roda Jaka dengan kencang dan cepat. Rambut panjang Luna bertebangan terkena hembusan angin. Rambut Jaka juga berantakan terkena angin. Mereka melukis tawa di jalanan yang sepi ini.

Luna mendorong kursi roda Jaka di atas pasir pantai. Luna mendorongnya dengan sekuat tenaga.

"Eh, Luna, bukankah kita harusnya kesana? Turis-turis berkumpul di sana loh." Jaka bertanya bingung.

"Aku punya tempat rahasia yang sepi dan lebih indah." Luna tertawa kecil.

Mereka sampai di tempat yang Luna maksud. Cahaya oranye terpancar dari arah barat. Matahari setengah tenggelam. Angin laut berhembus kencang. Debur ombak terdengar merdu.

"Lihatlah, di sini sepi. Dan di sini kita mendapatkan pemandangan yang lebih indah!" Luna tertawa lantang.

Luna berlari menuju pantai. Langkah kaki kecilnya membekas di pasir pantai. Luna menari-nari di atas pasir pantai yang kasar. Cahaya oranye menyinari tubuh Luna yang sedang menari di sana.

Jaka tersenyum. Gadis itu terlihat sperti lukisan yang sangat indah. Rambut pirang yang tergerai panjang, mata biru yang menyejukkan, senyumnya yang indah. Terlihat seperti lukisan mahal.

Jaka melajukan kursi rodanya. Dia bersusah payah mengejar Luna di ujung pantai. Gadis pirang itu menghampiri Jaka dengan senyum manisnya.

"Luna, aku ingin sedikit bercerita tentang diriku padamu. Kamu waktu itu bertanya, bukan? Tentang kenapa aku menggunakan kursi roda ini." Jaka mendongakkan kepala. Menatap Luna.

"Bolehkah aku mengetahuinya sekarang? Apakah kita sudah kenal dekat, hingga kamu sudah siap menceritakannya, Jaka?" Pupil mata Luna membesar.

"Aku lahir dengan cacat. Memang sudah tidak bisa berjalan dengan kaki. Namun, orang tuaku mengurusku dengan penuh kasih sayang. Aku juga akan menceritakan sedikit tentang orang tuaku, Luna. Aku mempercayaimu."

"Saat usiaku 7 tahun, orang tuaku pergi kekota untuk mengurus tanah yang di tinggalkan Kakeku untuk Bapak dan Ibuku. Namun, Bapak dan Ibu tidak mengizinkan aku ikut. Mereka bilang hanya pergi sebentar. Lagipula repot jika membawa kursi roda sebesar ini kedalam mobil yang sempit. Orang tuaku berangkat pagi-pagi sekali.
Aku dititipkan di tempat Mas Haris dan Mas Harun. Mereka satu-satunya saudarku di sini. Walau saudara jauh.
Malam harinya, kami mendapat kabar dari polisi. Mereka bilang, orang tuaku kecelakaan. Meninggal di tempat.
Aku putus asa di saat itu. Aku yang cacat ini, memangnya bisa hidup dengan siapa? Memangnya aku yang cacat ini bisa apa?
Namun, Mas Haris meyakinkanku, bahwa semua orang bisa bertahan hidup jika mereka mau berusaha. Bapak dan Ibuku meninggalkan sedikit tabungannya padaku. Dan kursi roda ini yang mereka tinggalkan untukku.
Untuk anak cacatnya." Jaka menyeka air mata di pipi.

Luna meraih pundak Jaka.

"Baiklah, sekarang giliranmu untuk bercerita kepadaku, Luna. Aku sudah cukup bercerita." Jaka mentap Luna.

Luna mengehela napas panjang. Dia terdiam cukup lama.

"Ceritaku ya? Sebenarnya ini tidak terlalu menarik sih. Tapi, jika kamu ingin tahu aku akan menceritakannya.
Saat Ibuku berusia tujuh belas tahun, dia berpacaran dengan seseorang yang lebih tua empat tahun darinya. Dia adalah Ayahku. Leonardo namanya. Dia juga sangat mirip dengaku. Mata biru, rambut pirang, kulit putih. Itu semua turunan dari Ayahku. Ibu hamil di usianya yang masih tujuh belas tahun. Katanya sih, Ayahku tidak mau bertanggung jawab. Dia kembali ke negara asalnya, tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada Ibuku. Dia kabur begitu saja."

"Namun, Nenek dan Kakek menerima keadaan Ibu di saat itu. Mereka tetap menyayangi Ibu sama seperti sebelumnya. Tidak ada yang berbeda. Saat usiaku menginjak dua tahun, aku pindah ke sini. Ibuku ingin hidup mandiri. Dia bekerja siang-malam untuk membiayai aku. Namun, Ibu selalu menyimpan dendam kepadaku.

Saat aku berusia tiga tahun, Ibu menikah lagi dengan ayahnya Nino. Ayah Nino jarang kemari, karena katanya sih, Ibu hanya jadi istri simpanannya. Tapi, setidaknya Ibu tidak perlu bekerja keras untuk menghidupi Nino. Ayahnya selalu mengirimi uang berjumlah banyak setiap bulan. Aku menguping pembicaraan itu saat usiaku enam tahun.

Dan tambahan lagi, kamu tahu kan aku selalu mengenakan bando berwarna hitam? Itu sebenarnya satu-satunya barang kesayang Ibu dari pemberian Ayah. Ibu mengenakan bando itu saat usiaku satu tahun, hingga sekarang. Bando ini sudah jadi milikku sekarang. Entah mengapa Ibu tidak membuang benda ini jika Ibu membenci Ayah.

Aku yakin, Ibu sangat mencintai Ayah. Aku yakin jika Ayah kembali, Ibu akan memeluknya erat-erat, tidak ingin melepaskannya." Luna menundukkan kepalanya.

"Luna, sepertinya nasib kita sebelas dua belas, ya? Jadi anak terlantar. Itu judulnya." Jaka tertawa kecil.

Luna menolehkan kepalanya. Menatap Jaka yang tertawa. Lengkung bibir Luna terbentuk. Luna ikut tertawa.

Ketika hidup memberimu seribu alasan untuk menyerah dan bersedih, maka kamu harus tunjukkan bahwa kamu memiliki miliyaran alasan untuk tersenyum dan tertawa.

Matahari sudah tenggelam sepenuhnya. Luna dan Jaka kembali menuju jalanan aspal yang biasa mereka lewati. Melewati pepohonan yang menjulang tinggi.

Luna mengantar Jaka hingga toko roti milik Haris. Lalu Luna pulang kerumahnya. Gadis berambut pirang itu membuka pintu kayu rumahnya dengan perlahan. Sepasang sepatu pria dewasa terlihat di depan pintu.

"Tolong biarkan aku hidup..." Suara Nuri dari dalam terdengar oleh Luna.

Luna mengintip dari balik tembok di sebrang meja makan. Luna melihat Ibunya yang di todong laras panjang oleh seorang pria berbadan tinggi dan kekar. Pria itu adalah ayah Nino. Nino bersembunyi di balik badan Nuri.

"Kamu membuatku tertekan karena selalu meminta uang yang berjumlah banyak setiap bulan. Sekarang perusahaanku bangkrut. Tapi kamu masih menuntutku untuk mengirimi uang berjumlah besar. Itu benar-benar membuatku muak." Wajah pria itu merah padam.

"Tolong... Jangan bunuh aku... Nino masih kecil. Dia masih butuh aku... Tolong." Nuri terus memohon.

Luna yang sedari tadi mengintip dari balik tembok, terdiam memantung. Badannya sulit digerakkan karena syok. Dia menahan napasnya. Pria itu benar-benar mengerikan.

DORRRRRR!!!!!

Suara tembakan meletus begitu saja.

Terimakasih sudah membaca teman-teman!!! Nantikan episode selanjutnya yawwww!!!

LuKa, juga sebuah cerita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang