Episode 35

6 1 0
                                    

Selamat membaca teman-teman. Semoga terhibur dengan cerita di episode ini yaaww...
Selalu dukung Biru Zen terus yaw dan boleh bantu vote jugaaaaa

Jaka dan Luna berjalan menyusuri jalanan yang sedikit ramai. Cahaya oranye menghiasi jalanan ini. Mereka baru saja pulang dari Toko Kue Haris.

"Mau ke pantai dulu?" Jaka mendongakkan sedikit kepalanya, menatap Luna.

"Mau!" Luna mendorong kursi roda Jaka sedikit lebih cepat.

Mereka sampai di pantai. Di tempat favorit mereka. Suara ombak yang menyapu pasir pantai, terdengar melegakan. Rambut panjang Luna beterbangan di terpa angin pantai. Luna melepas pegangannya dari kursi roda Jaka.

Luna duduk di atas pasir pantai yang kasar. Lenggang sejenak. Mereka menatap matahari yang mulai terbenam sedikit demi sedikit.

"Emm... Jaka?" Luna sedikit melirik ke arah Jaka.

"Ya?" Jaka mengarahkan pandangannya Luna.

"Kemarin, Asri bilang tidak mau mengurus bayi itu. Dan aku bilang, aku yang akan mengurusnya. Emm... Bersamamu." Luna sedikit mendundukkan kepalanya.

Jaka terdiam sejenak.

"M-maafkan aku, Jaka. Aku tahu itu bukan anakmu. Tapi, aku tak ada alasan lain agar Asri tidak membawamu pergi."

Jaka terdiam.

Jantung Luna berdegup lebih kencang. Jaka tak pernah mendiamkan Luna seperti ini.

"Tidak masalah jika itu tidak menjadi masalah bagimu. Tapi, Luna, perihal mengurus anak itu tidak mudah." Jaka tersenyum ke arah Luna.

"M-maafkan aku Jaka, apalagi dia tidak ada hubungan darah dengan kita. Sepertinya aku salah mengambil jalan." Luna menggigit bibir.

"Aku juga tidak ada hubungan darah dengan bapak dan ibuku. Tapi itu tidak menjadi masalah. Aku bilang tidak masalah Luna. Aku hanya bilang perihal mengurus anak itu tidak mudah."

"Biar aku yang merawatnya sendirian saja." Luna tersenyum kecut ke arah Jaka.

"Tidak, Luna. Kita akan merawatnya bersama. Berarti... Kita harus merencakanan pernikahan?" Jaka menatap Luna jahil.

"EHHHH??!!!!!!" Wajah Luna merah padam.

"HAHAHAHA..." Jaka tertawa lepas.

"Bercandanya tidak lucu!" Luna memanyunkan bibirnya.

"Aku tidak bercanda." Jaka menatap Luna kembali. Dengan wajah yang sedikit lebih serius.

"Apa?" Jantung Luna berdegup lebih kencang.

"Mungkin, setelah aku bercerai dengan Asri, aku akan segera melamarmu, Luna. Ah, sejujurnya aku masih sedikit ragu, karena kehidupanmu yang sekarang lebih baik daripada jika nanti kamu hidup bersamaku-"

"TIDAK! Tidak! Jaka. Aku akan lebih bahagia jika bersamamu. Aku tidak pernah berpikir tentang berapa banyaknya harta yang Ayah punya. Aku tak pernah berpikir berapa warisan yang akan Ayah tinggalkan. Aku hanya berpikir apakah esok hari aku masih bisa sebahagia sekarang. Bersamamu, bersama Ayah, bersama Nino. Hidupku bahagia bukan karena uang, Jaka. Tapi karena ada orang-orang yang menyayangi diriku di sini. J-jadi, jangan ragu!" Noda rona timbul di pipi Luna.

"Begitukah? Baikalah! Aku tidak akan ragu!" Jaka berkata mantap.

Luna tersenyum, salah tingkah.

"Ngomong-ngomong, jika anak itu lahir, kamu akan memberni namanya siapa, Jaka?"

Jaka terdiam sejenak, pandangannya yang awalnya melihat ke arah Luna, beranjak melihat ke arah lautan.

"Mira."

Luna menatap Jaka sejenak.

"Kenapa kamu memilih nama itu?"

"Karena nama Mira berarti laut."

"Eh, benarkah?"

"Eh, tidak tahu, sih, kata Ibu sih dulu begitu. Tapi, Kisah kita bukankah identik dengan laut, juga, Luna?"

Luna mengangguk perlahan. Dan dengan senyum tipisnya.

"Dulu, Ibu selalu bilang, jika Ibu melahirkan anak perempuan, dia akan memberikan nama Mira. Ibu selalu berharap memiliki anak kandung. Tapi, Ibu tidak melupakanku, kok. Ibu hanya berharap dia punya seorang anak perempuan yang lahir dari rahimnya."

"K-kamu tahu jika kau bukan anak kandungnya Jaka?" Luna menatap Jaka.

"Tentu saja, Luna. Ibu memberitahuku dengan sangat hati-hati waktu itu, saat Ibu akan mengungkapkan bahwa aku bukanlah anak kandung mereka. Kamu juga tahu dari Mas Haris dan Bu Vita, bukan?"

Luna mengganguk pelan.

"Jika membahas soal ibu, ah, itu rasanya sangat menyakitkan bagi kita yang sudah kehilangan sosoknya. Benar, bukan?" Luna menghela napas panjang.

"Benar."

"Ngomong-ngomong, kenapa kamu menyimpulkan nama 'Mira' padahal kamu belum tahu anak itu perempuan atau laki-laki?" Luna bertanya.

"E-ehh... Tidak tahu. Kamu, sih, bertanyanya terlalu jauh, Luna!" Jaka meyentil kepala Luna.

"Aw!! Itu sakit, Jaka!" Luna menggerutu.

"Hahaha... Maaf-maaf."

                              ***

Keesokan harinya, Luna harus kembali ke rumah Leonardo. Karena Luna memiliki jadwal yang sudah di tata oleh Luna sendiri. Menyesuaikam waktu.

"Ayah, aku pulang." Luna menunggu Leonardo untuk membuka pintu.

"Hei, anak Ayah sudah pulang?" Leonardo menghampiri Luna. Memeluknya dan menciumi kening Luna.

"Ayah sangat rindu." Leonardo masih memeluk Putri Semata Wayangnya itu.

"Ayah! Baru juga tiga hari." Luna tertawa kecil.

Leonardo menggandeng tangan Luna hingga meja makan. Sudah banyak makanan lezat yang tertata di meja makan.

Makan malam selalu menjadi waktu untuk berbagi cerita santai Luna dan Leonardo.

"Apa kabar Jaka dan Nino?"

"Baik."

Terimakasih sudah membaca teman-teman!!! Nantikan episode selanjutnya yawwww!!!

LuKa, juga sebuah cerita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang