Episode 3

8 3 0
                                    

Selamat membaca teman-teman. Semoga terhibur dengan cerita di episode ini yaaww...
Selalu dukung Biru Zen terus yaw dan boleh bantu vote jugaaaaa!!!!

Luna gemetar. Dia terdiam membeku di tempat. Sekuat apapun Luna, dia tetap tidak bisa melawan saat Ibunya sudah marah dan berteriak.

"DASAR ANAK SIALAN!!!" Nuri datang dengan membawa sebuah baju dan sebuah rotan panjang di tangannya.

Luna hanya bisa terdiam seperti patung. Napasnya menderu.

"LIHAT APA YANG KAMU LAKUKAN DENGAN BAJUKU! BAJU INI MASIH BARU, TAPI KAMU SUDAH MEMBUATNYA TERKENA LUNTURAN BAJU LAIN? DASAR BRE*NGSEK!!" Nuri melayangkan tongkat rotannya.

Memukul badan Luna degan ganasnya. Wajah Nuri merah padam. Amarahnya tak bisa lagi dibendung.

"Maaf, Bu. Maaf, Bu. Luna tidak menyadarinya." Luna meringkuk.

Terdengar langkah kaki seseorang yang terburu-buru dari belakang. Seseorang menghentikan pukulan rotan dari tubuh Luna, lantas mengambil rotan itu dari tangan Nuri.

"Nuri, sudah cukup. Sadar Nuri, sadar. Dia itu anakmu." Nenek Luna meraih pundak Nuri.

"Aku sudah tidak tahan, Bu. Anak ini sama sekali tidak mengutungkan." Nuri menunjuk Luna yang masih meringkuk.

"Bukankah kamu yang dulu ingin melahirkannya? Sadar Nuri!"

"T-tapi, lihatlah, baju bermerekku dirusakkan olehnya. Ini baju mahal." Napas Nuri menderu.

"Nuri, nyawa tidak bisa dibayar hanya dengan baju bermerek, Nak." Nenek Luna menurunkan nada bicaranya. Itu cara yang paling ampuh untuk menghentikan Nuri.

Mata Nuri berkaca-kaca. Dia mulai memeluk Nenek Luna. Tangisnya terisak. Selama ini, Nuri berpikir, jika Nuri melahirkan Luna, maka Leonardo akan kembali kepadanya. Nyatanya, tidak begitu. Nuri dituntun menuju kamarnya.

"Luna, kemarilah." Kakek Luna mengulurkan tangannya kepada Luna yang masih meringkuk.

"K-kakek..." Luna merintih.

Jaka yang sedari tadi di luar sangat kebingungan mendengar suara bising dari dalam. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar suara pukulan rotan yang kencang.

Luna keluar dengan luka lebamnya. Dia menghampiri Jaka yang masih berada di posisinya. Jaka tersentak kaget melihat Luna yang berdarah-darah.

"L-Luna? Ada apa ini? Mengapa wajahmu berdarah dan lebam seperti itu?" Jaka bertanya cemas.

"Tidak apa Jaka, Ibu tadi memarahaiku. Tapi, itu karena kesalahanku. Untung ada Kakek dan Nenek yang menolongku. Oh, ya, Jaka, apa kamu bisa pulang sendiri? Sepertinya aku tidak bisa mengantarmu ke toko roti itu lagi." Luna menundukkan kepala. Meremas bajunya, menahan tangis.

"Baiklah, Luna. Semoga kamu baik-baik saja. Kapan-kapan jika kamu butuh aku, aku selalu berada di toko roti itu. Hampiri aku jika kamu membutuhkan teman untuk bercerita." Luna mengangguk.

"Titip salam untuk Mas Haris, ya, Jaka." Jaka mengangguk. Memutarkan kursi rodanya. Lantas pergi dari halaman rumah Luna.

Luna melangkah menuju pintu. Membukanya dengan sangat hati-hati. Luna mendengar tangis ibunya yang sangat kencang dari dalam kamar. Luna benar-benar sangat merasa bersalahan.

Luna melewati meja makan. Kakek Luna menyuruh Luna untuk duduk di sampingnya. Ada Nino juga.

"Biar Kakek obati lukanya." Kakek Luna mulai mengoleskan obat merah dengan perlahan di bagian luka yang berdarah.

"Kakak si anak sialan. Hahahaha..." Nino tertaw berbisik.

"Heh, Nino, dia itu kakakmu. Yang sopan!" Kakek Luna menegur Nino dengan wajah marah.

LuKa, juga sebuah cerita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang