Episode 36

5 1 0
                                    

Selamat membaca teman-teman. Semoga terhibur dengan cerita di episode ini yaaww...
Selalu dukung Biru Zen terus yaw dan boleh bantu vote jugaaaaa

9 Bulan kemudian...

Hari ini adalah hari kelahiran bayi yang di kandung oleh Asri. Jaka dan Luna bergegas menuju rumah sakit untuk menjenguk Asri dan bayinya.

Luna dan Jaka baru saja sampai di depan rumah sakit, mereka bertemu dua orang yang barusan menjenguk Asri dan bayinya. Luna dan Jaka mengenal mereka, karena mereka juga tetangga yang saling bekenalan walaupun jarak rumpun rumah mereka sedikit lebih jauh.

"Hey! Luna!" Seorang wanita paruh baya berteriak memanggil nama Luna.

Lalu, mereka berjalan mendekat ke arah Luna dan Jaka.

"Eh, Ibu, barusan menjenguk Asri?" Luna tersenyum sopan.

"Iya."

"Bagaimana keadaan Asri dan bayinya?" Luna bertanya lagi.

"Asri, sih, sehat. Tapi bayinya... Payah! Cacat!" Dua wanita itu tertawa dengan angkuhnya.

Luna dan Jaka saling tatap.

"Ya... Seperti bapaknya, kan?" Wanita satunya lagi melirik Jaka.

Jaka yang merasa tersindir, segera menundukkan kepalanya. Dengan bergegas, Luna mendorong kursi roda Jaka, dan meninggalkan dua wanita tadi. Luna mendorong kursi roda itu sedikit lebih cepat dan tak beraturan lajurnya.

Amarah di kepala Luna, sudah tak terbendung lagi. Namun, ia juga tak bisa melampiaskannya kemanapun. Pada akhirnya, Luna hanya menghela napas panjang.

"Luna....?" Jaka memanggil nama Luna dengan lembutnya.

Namun, Luna masih tenggelam dalam amarahnya. Masih tak bisa keluar dari pikirannya sendiri.

"Luna? Kau mendengarku?" Jaka sekali lagi mencoba menyadarkan Luna dari lamunan.

Beberapa saat kemudian, Luna baru tersadar.

"E-eh? Ya? Ada apa?"

"Kamu marah, Luna?" Jaka sedikit mendongakkan kepalanya, menatap Luna.

Luna terdiam sejenak. Ia melepaskan pegangannya dari kursi roda Jaka. Luna terduduk di kursi panjang yang di rapatkan ke tembok.

"Jaka, semenjak aku tinggal bersama Ayah, aku menjadi merasa, aku semakin sulit menahan rasa amarahku. Padahal, dulu, aku mudah sekali untuk menghilangkan rasa amarahku." Luna memangku wajahnya dengan satu tangannya.

"Itu bagus. Kamu tidak boleh selalu menahan amarahmu, Luna."

"Tapi, bukankah jadi orang penyabar itu lebih baik?" Luna menatap lantai pualam.

Jaka mendekat ke arah Luna.

"Menjadi dirimu sendiri, itu lebih baik, Luna." Jaka mengelus lembut rambut Luna.

Pupil mata Luna membulat menatap Jaka.

"Menurutmu, bagaimana diriku yang menjadi diriku sendiri?" Luna bertanya dengan matanya yang berbinar, seperti terangnya gemerlap bintang di langit malam.

"Luna yang periang. Luna yang menyukai pantai. Luna yang selalu tersenyum. Luna yang selalu peduli dengan orang lain. Dan sekarang, Luna yang memiliki amarah." Dengan tiba-tiba, Jaka mencium kening Luna.

Luna tersentak kaget, namun, ia juga tak bisa menghentikan Jaka. Jantung Luna berdegup lebih kencang dari biasanya. Bahkan seratus kali lebih cepat.
                               ---
Luna dan Jaka sampai di depan kamar inap Asri. Mereka berdua hanya menatap pintu itu selama beberapa menit.

LuKa, juga sebuah cerita (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang