15. Pelampiasan

386 28 11
                                    

“Aw, perih Ze.” Jevan meringis kesakitan saat Zea mengobati luka di wajahnya. Keduanya sedang berada di UKS.

“Ya makanya jangan berantem terus. Kamu kenapa sih, hobi banget berantem.” Zea masih setia mengobati luka cowok itu.

“Ya karena lo. Masa gue diem aja tau kalau lo dirundung sama Selva dan teman-temannya.”

“Tapi gak dengan cara kayak gini.” Kali ini Zea selesai mengobati, lalu beralih membereskan kotak P3K.

“Kalau gak dengan cara kayak gini, dia gak akan kapok. Lagian sekarang aja Selva belum tentu kapok.” Jawaban Jevan membuat Zea tak habis pikir.

“Kalau kamu kayak gini terus, lebih baik kita putus aja.” Zea beranjak dari tempat duduknya. Jevan seketika panik mendengar ucapan Zea.

“Gampang banget ya, lo ngomong putus. Pokoknya gue gak mau. Lagian perjanjiannya juga sampai kelulusan kan?” Jevan tak terima.

“Tapi kamu ingkar terus, Jev.”

“Janji gue gak akan ingkar lagi.” Jevan mengangkat tangannya ke atas, jarinya membentuk hurup V.

“Dulu juga kamu kayak gini.” Zea berbicara dengan sangat tenang, tetapi raut wajah cewek itu memancarkan kekecewaan.

“Iyaa gue akui, gue emang selalu ingkar, tapi itu ada alasannya Ze.” Jevan terdiam sejenak. “Maaf Zea, gue gak akan ingkar lagi,” lanjutnya.

Zea terdiam sejenak menatap Jevan lekat. “Oke.” Di detik kemudian ia hanya menjawab dengan singkat membuat Jevan seketika memeluk Zea erat.

“Thanks, Ze,” ucap Jevan kembali melepas pelukan itu.

“Iya, tapi kamu harus tepati janji kamu okay?” Jevan langsung menjawab dengan anggukan.

“Ze,” panggil Jevan lirih membuat cewek itu merespon. “Iya?”

“Gue minta lo jangan deket-deket Pandu terus,” ujar Jevan seketika membuat Zea mengerutkan keningnya.

“Kenapa?” tanya Zea. “Mana mungkin aku gak deket-deket Pandu, dia ketua kelas sedangkan aku wakilnya.”

“Dia suka sama lo, Ze,” ungkap Jevan berbicara.

“Mana mungkin Jev. Kamu bicara gini karena aku sering sama Pandu kan?” Zea tak percaya apa yang dikatakan pacarnya. Mana mungkin Pandu yang kelihatan tenang seperti itu, menyukainya.

“Gue serius Ze. Dia yang mengaku sendiri,” ujar Jevan.

“Sejak kapan kamu dekat sama Pandu. Mana mungkin dia bicara seperti itu ke kamu, yang ada dia akan berpikir kamu menghajarnya.” Lagi dan lagi Zea tak percaya.

“Gue serius—”

“Udah ya, sekarang kita ke kelas. Sebentar lagi bel masuk,” ajak Zea tetap tak percaya.

Gue sih, bodoh banget gak dipikir dulu. Mana mungkin Zea percaya perkataan gue,” gerutu Jevan dalam hatinya.

•••💗•••

Bel pulang berdering nyaring membuat siswa-siswi berhamburan ke luar kelas, termasuk kelas 12 IPA 3.

“Ze, gue pulang duluan ya,” pamit Raya pada Zea yang sedang membereskan bangku kelas. Kebetulan tepat di hari ini Zea piket.

“Iya, hati-hati di jalan Ray,” sahut Zea dengan senyuman. Setelah mendengar itu, Raya dan Azizah pergi meninggalkan Zea di kelas bersama Jevan, Vigo, Ilham.

“Kalau gue bolos, lo suka piket sendiri?” tanya Jevan penasaran.

“Ya iyalah, mau sama siapa lagi?” Bukan. Bukan Zea yang menjawab, melainkan Vigo yang sejak tadi membereskan kursi bersama Ilham.

My Boyfriend Is A Bad Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang