Seorang cowok menulusuri koridor sekolah, mencari-cari pacarnya yang tidak tau keberadaannya saat ini di mana. Sesekali ia menanyakan pada salah satu siswa. Namun, mereka pun tak mengetahui.
Tepat di depan pintu laboratorium, langkahnya terhenti karena seseorang memanggil. Refleks Jevan menoleh ke belakang.
“Kenapa, Ray?” tanya Jevan merasa aneh, tak biasanya Raya seperti ini.
Namun, cewek itu terlihat panik. Napasnya tersengal-senggal. “Ze–zea ... dia pingsan, dan dibawa ke ruang UKS,” celetuk Raya seketika membuat raut wajah cowok itu terlihat panik, terlihat dari perubahan raut wajahnya.
“Thanks, infonya, Ray.” Setelah mengatakan itu, Jevan langsung berjalan cepat menuju ruang UKS.
💗
Setibanya di ruang uks, Jevan langsung saja menghampiri Zea yang belum sadarkan diri. Rupanya cewek itu baru saja diperiksa oleh dokter penjaga di ruangan ini.
“Dok, bagaimana kondisi Zea?” tanya Jevan, khawatir.
“Untuk saat ini Zea bisa diclaim hanya kelelahan saja, tetapi cobalah periksa lebih lanjut untuk mengetahui lebih jelasnya.” Dokter itu menghentikan sejenak ucapannya. “Tolong sampaikan ucapan saya barusan pada Zea,” lanjutnya.
“Baik, Dok. Terima kasih.”
Setelah mengatakan itu, dokter pun pergi—kembali ke ruangannya.
Jevan duduk di kursi, memegangi tangan cewek itu. Jujur ia sangat khawatir dengan kondisinya saat ini. Pasalnya kondisi Zea memang kurang sehat, ditambah kurang istirahat dan sering telat makan.
Semalam Jevan sudah melarang agar tak sekolah terlebih dahulu, tetapi Zea tetap pergi dengan beralasan sudah baik-baik saja.
Selang beberapa menit kemudian, perlahan Zea membuka kelopak matanya, cewek itu sudah sadar, membuat Jevan senang.
“Ze, akhirnya lo sadar juga,” ujar Jevan tak lepas memegangi tangannya.
“Jevan? Kamu kenapa bisa ada di sini?” tanyanya, seraya mencoba duduk, cowok itu pun membantunya.
“Raya bilang kalau lo pingsan.” Ia menghentikan sejenak ucapannya. “Kenapa lo ngeyel banget? Udah gue bilang kan, jangan sekolah dulu, akibatnya kayak gini.”
“Tadi pagi aku udah mendingan, tapi gak tau kenapa tiba-tiba tadi pusing banget,” jawabnya.
Tiba-tiba Jevan teringat perkataan dokter tadi. “Ayo mending sekarang lo periksa, takutnya kenapa-kenapa,” ajak Jevan sambil berdiri, menatap Zea penuh dengan kekhawatiran.
“Gak usah, aku udah gapapa kok,” tolak Zea turun dari brankar.
“Lo itu, ya ... susah banget dibilanginnya!” Jevan merangkul kedua bahu Zea. “Pokoknya gak mau tau, lo harus mau!” lanjutnya menatap cewek itu.
“Aku gak mau, aku mau ke kelas. Bentar lagi bel masuk bunyi.” Zea melangkah, diikuti Jevan di sampingnya.
“Kondisi lo belum pulih, jangan belajar dulu, yang ada tambah sakit!” Ucapannya seketika membuat cewek itu menghentikan langkahnya.
Kini keduanya saling berhadapan, menatap satu sama lain. “Aku udah baik-baik aja kok, kamu gak usah khawatir.” Jujur sebenarnya kepala Zea masih terasa agak pusing, tapi ia gak mau absensinya kosong.
Jevan menatap tajam Zea. Ia mencoba menahan diri agar tak berucap dengan nada tinggi. “Oke, kalau itu mau lo.” Jevan menghela napas dalam. Punya pacar keras kepala banget, padahal ia khawatir, takut kenapa-kenapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Boyfriend Is A Bad Boy
Teen FictionAku gak menyangka sampai saat ini, harus berpacaran dengan preman sekolah. Itu benar-benar diluar dugaanku. Namun, karena permainan truth or dare yang dia bilang. Dia harus memacariku. Awalnya aku menolak, karena tidak mau berpacaran dengan preman...