20. Syarat Jadi Calon Menantu

344 26 9
                                    

Suara deru ombak terdengar jelas di kesunyian malam. Kelap-kelip bintang melengkapi indahnya nabastala. Ranting-ranting pepohonan tertiup angin kencang, menyelusup pada kulit yang tak terlapisi kain. Dua insan tengah terduduk di pinggir pantai, menatap lurus ke depan.

“Nih pakai, biar lo gak kedinginan.” Seorang cowok melepas jaketnya, lalu menyelimuti cewek itu penuh dengan kehangatan.

Zea melirik ke samping, membuat kedua mata bertemu dengan tatapan mata setajam elang. Kemudian ia tersenyum singkat. “Gak usah nanti kamu kedinginan.” Ia sempat ingin melepasnya kembali, tetapi Jevan terlebih dahulu menahannya.

“Gue tahan dingin,” ujarnya dengan senyuman, matanya pun ikut tersenyum.

“Makasih, Jev.” Zea kembali menatap lurus ke depan, dan di detik kemudian ia melirik pada Jevan yang berada di sampingnya, memperlihatkan hidung yang mancung dan rahang yang tegas.

“Maaf aku udah salah sangka sama kamu,” ucap Zea terus menatap Jevan dengan tatapan teduh. Mendengar itu, membuat Jevan melirik ke samping. Kedua pasang matanya kembali saling bertemu.

“Gue seharusnya yang minta maaf, karena udah berkata-kata kasar sama lo.” Kini Jevan merubah posisi duduknya menjadi menghadap Zea.

“Kenapa kamu yang harus minta maaf? Di sini aku yang salah, karena aku gak beri kamu kesempatan untuk menjelaskan.” Terlihat Zea sangat menyesal atas perilakunya terhadap Jevan.

“Lo gak salah, Ze. Gue yang seharusnya disalahkan.” Jevan terdiam sejenak, lalu menatap cewek di hadapannya dengan tatapan teduh. “Wajar kalau lo kayak gitu sama gue, karena kata-kata gue udah kasar banget.”

Zea hanya terdiam, mendengarkan Jevan berbicara, dengan kedua mata terus memperhatikanya.

“Seharusnya gue melindungi lo, bukannya malah menuruti perkataan Alexa karena takut lo kenapa-kenapa. Bukannya kalau gitu sama aja gue seperti pengecut,” tutur Jevan merasa sangat bersalah mengingat apa yang telah ia lakukan pada Zea, meski sebenarnya tak mau.

“Jangan merasa bersalah, kamu gak salah, Jev,” sela Zea.

“Tapi karena gue salah ambil keputusan, lo jadi terluka, lo kecewa, apalagi karena ucapan kasarnya,” ujar Jevan.

“Setelah tau kebenarannya, menurutku kamu wajar melakukan hal itu. Aku kalau ada di posisi kamu, aku juga bakalan bingung. Sekarang aku gapapa, kamu jangan terus-terusan merasa bersalah.”

Ucapan Zea terdengar seperti lantunan melodi indah di telinga Jevan. Menyapa lembut, nan menyejukkan hati. Jevan terharu, di detik kemudian cowok itu mendekap erat Zea.

“Pacar gue baik banget,” ucap Jevan tak melepas pelukannya. Jujur Zea terkejut mendengar kata ‘Pacar’.

“Pacar?” Ucapan Zea terdengar seperti ingin meminta penjelasan dari Jevan.

Jevan melerai pelukannya, beralih menatap cewek itu lekat. “Iyalah, gue gak pernah anggap kita putus. Lo putusin gue karena kesalahpahaman, bukan diambil dari kesadaran dengan pikiran yang jernih.”

Seketika Zea terharu. “Maaf aku terlalu cepat ambil keputusan tanpa mencari tahu yang sebenarnya terjadi.” Ia merasa sangat bersalah pada Jevan.

“It's okay, yang terpenting sekarang lo tau kebenarannya.” Jevan mengelus lembut rambut milik Zea.

“Sebenarnya ... aku suka sama kamu, Jevan,” ungkap Zea dengan pelan sambil menundukkan kepala karena malu.

Mendengar itu, Jevan tersenyum manis. “Gue juga, Ze.” Ia menghentikan sejenak ucapannya. “Cinta gue ... lebih besar sama lo, dari pada ke diri sendiri.”

My Boyfriend Is A Bad Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang