29. Menerima Keinginan

133 8 7
                                    

Wanita itu tersenyum devil. Tak lama di detik kemudian ia kembali membuka suara. “Seorang Ibu akan melakukan apapun demi kebahagiaan anaknya.”
Sontak ketiga orang itu dibuat kesal atas ucapan Sabella.

Tak lama kemudian, ia kembali berbicara, mempertanyakan keputusan yang akan diambil oleh Jevan. “Bagaimana? Sudah memutuskan?”

Zea hanya terdiam, menunggu keputusan kekasihnya. Sedangkan Jevan dibuat bingung. Tak hanya Jevan, Selva pun ikut kebingungan, merasakan apa yang dirasakan Adek tirinya itu.

Di menit kemudian, cowok itu berbicara dengan ragu. “Okay, saya mau memenuhi keinginan Alexa.”

Deg!

Meski waktu itu Zea mengikhlaskan Jevan, tetapi tetap saja ia merasakan sakit di dadanya. Sorot mata cewek itu, terlihat sangat kecewa. Sedangkan Sabella tersenyum mendengar keputusan yang Jevan ambil—sesuai keinginanya.

“Lo gila, Jev?!” Kesal Selva, menatap cowok itu dengan tatapan tajam.

“Gue gak punya pilihan, Selv.” Ia berbicara dengan nada pelan.

“Oh, iya ... untuk kamu, saya rasa tidak etis jika kamu masih memiliki hubungan dengan Jevan.” Sabella menunjuk ke arah Zea.

Peka atas apa yang dimaksud wanita itu, ia pun mulai bersuara. “Maaf, Jev. Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita.” Setelah berbicara seperti itu, Zea langsung saja pergi meninggalkan mereka bertiga yang masih berdiri di ruang tunggu rumah sakit.

Jevan tak bisa membiarkan Zea pergi begitu saja. Ia pun mengejar cewek itu yang sudah hilang di tikungan.

🔥

“Maaf, gue harus menerima keinginan ibunya Alexa. Gue bener-bener gak tau harus gimana, karena ini menyangkut perusahaan nyokap.” Seorang cowok berusaha menjelaskan perasaannya saat ini dengan raut wajah sendu pada Zea di hadapannya.

Jevan sama sekali tak ada niatan untuk menerima keinginan Sabella, tetapi wanita itu mengancamnya. Jika sudah menyangkut Ibu, ia tak bisa berbuat apa-apa.

Zea tersenyum singkat, menahan sesak di dadanya. “Gapapa, aku tau perasaan kamu. Aku bisa menerimanya.” Ia melepaskan genggaman tangan Jevan, yang menggenggam tangannya sedari tadi.

Dengan perasaan berat cowok itu bertanya, “Gue tau ini salah, tapi apa bisa kita tetap bersama?” Jujur saja Jevan tak mau jika harus berpisah dengan Zea. Bukankah itu egois?

“Maaf Jev, benar kata Tante Sabella, gak etis rasanya jika kita masih memiliki hubungan. Sedangkan kamu udah kembali pada Alexa.”

Jawaban dari Zea membuat cowok itu merasa dirinya hanyalah cowok pengecut, yang tak bisa menjaga perasaan perempuannya.

“Maafin gue, Ze.” Ia benar-benar merasa tak berguna.

“Gapapa,” ucapnya singkat. “Aku pamit pulang dulu,” lanju Zea berpamitan pada Jevan.

“Ayo gur antar lo pulang.” Ia memegang lengan Zea, tetapi dengan cepat cewek itu melepaskannya.

“Gak usah, aku bisa pulang naik taxi,” tolak Zea.

“Tolong sekali ini aja,” mohon Jevan, di detik kemudian Zea mengangguk sebagai respon.

🔥

Sakit sudah pasti. Bagaimana tidak, mengingat orang yang dicintainya sudah tak bersamanya lagi. Sejak pulang tadi, cewek itu belum keluar kamar. Ia hanya tidur merebahkan tubuhnya di atas kasur. Bahkan saat ini, ia tengah tersedu-sedu menangis di balik selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.

My Boyfriend Is A Bad Boy Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang