Langkah Jennie memelan ketika suara itu mengusik gendang telinganya. Jennie berusaha keras untuk tidak terpancing, sebisa mungkin mengontrol emosi yang mencuat ke ubun-ubun.
"Oh, jadi dia cuma anak pungut dong."
"Atau mungkin anak pembantunya yang dibiayain sekolah gitu kaya disinetron-sinetron hahahah."
"Gue kira dia beneran saudaranya tyuzu,
tapi emang gak mungkin sih kan mereka
beda.""Kasian ya gak diakui bapaknya."
"Mungkin karena dia anak haram kali ya!!."
Jennie mengepalkan kedua tangannya, membendung hasrat yang menggebu-gebu. Rasanya ingin sekali Jennie menyumpal mulut-mulut mereka dengan sepatunya. Tahu apa mereka? Bahkan mereka tidak tahu apa-apa, tapi seolah tahu segalanya. Jennie mengehela napas panjang, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terpancing pada apa pun.
Jennie masuk ke kelas, semua tatapan
beralih kepadanya. Teman-temannya
menatap Jennie dengan pandangan aneh, ia tahu apa yang mereka pikirkan. Tak beda
jauh dengan anak-anak di koridor tadi.
Jennie punduduk di bangkunya, dan mengabaikan sekelilingnya. la menunduk pasrah, menyembunyikan matanya yang mulai berkaca-kaca. Ingatannya kembali pada kejadian tadi pagi."Biarkan dia pergi, terserah dia mau seperti apa. Saya tidak akan peduli." Kata-kata papanya terus terngiang di kepala Jennie. la sampai tidak fokus dengan pelajaran, pikirannya berkelana ke mana-mana. Hingga suara bel istirahat berbunyi, Jennie masih diam di tempat duduk.
"Jennie." Jennie punmengangkat wajahnya ketika mendengar seseorang memanggilnya,Bia menatap seorang perempuan yang berdiri di samping mejanya. Dia teman sekelasnya tapi Jennie tidak tahu siapa namanya, yang Jennie tahu hanya Irene dan anak itu tidak masuk karena harus menemani kakaknya di rumah sakit.
"Gue mau nanya boleh?" tanya cewek
itu."Oh, ya. Sebelumnya kenalin gue Dahyun." Dia memperkenalkan dirinya. "Gue mau tanya, lo sebenernya siapanya tyuzu
si? Emang beneran ya lo anak pembantunya tyuzu?""Dahyu!" Teman-teman dahyun melotot,
pasalnya pertanyaan dahyun terlalu
sensitif."Biarin si, kan lebih baik gue nanya
orangnya langsung dari pada gue mati
penasaran," kata dahyun, sama sekali tak
merasa bersalah."Jadi yang bener lo anak pungut atau anak pembantunya? Teman-teman tyuzu bilang lo anak pembantunya." Sedangkan Jennie meremas roknya, amarahnya semakin tersulut mendengar pertanyaan Dahyun. Jennie mendongak, wajahnya nampak datar, tapi tatapannya begitu tajam menyoroti mata dahyun yang bergerak liar. Sepertinya dahyun merasa tidak nyamanb ditatap seperti itu.
"Emang kenapa?" tanya Jennie.
"Ya kita semua perlu tahu, iya kan teman-teman?" Dahyun menoleh ke teman-temannya.
"lya, jen. Tinggal jawab aja apa susahnya, sahut temannya dahyun yang entah bernama siapa, karena Jennie tak
mengenalnya."Kalo iya kenapa? Terus kalau gak kenapa?" Jennie balik bertanya, tatapannya lurus ke dahyun.
"Ya kalo emang beneran lo cuma anak
pungut kita gak akan temenan sama lo,
kita---." Jennie mendecih."Kalau gitu gue gak perlu jawab, karena gue gak butuh kalian." Jennie beranjak berdiri, meninggalkan bangkunya dan memilih keluar kelas.
Jennie tidak peduli dengan teman-teman
sekelasnya yang pasti membicarakannya.
Jennie sesekali memegangi dadanya yang terasa sesak, rasanya sakit, benar-benar sakit. Kenapa tak ada seorang pun yang bisabmengerti dirinya, ia benci bersosialisasi karena mereka hanya akan memandang sebelah mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jennie Kim as NiNi
Teen FictionLuka masa kecilnya membentuk kepribadian Jennie menjadi tertutup dan dingin, Trauma akan kematian ibunya membuat Jennie membenci semua laki-laki termasuk ayahnya. Namun semua berubah ketika Jennie pindah ke sekolah barunya, ia bertemu dengan lelaki...