Chapter 07

3.2K 302 19
                                    

[ Yohan ]

_________×


  Seperti janji Sabiru kemarin, Yohan yang bangun di siang hari langsung bergegas keluar dari kamar dan berlari menuju kamar milik kakak laki lakinya yang cuek. Ia mengetuk pintu berkali kali hingga membuat lorong bising.

"Oi, mana mobilnya," Yohan terus menggedor pintu pintar itu tanpa sadar seseorang sudah berdiri di belakangnya.

"Berisik," tangan besar itu mencengkeram bahu Yohan dan membuat anak itu sedikit melangkah mundur.

Yohan terkekeh, tak mempermasalahkan rasa sakit di bahu dan langsung menengadahkan tangannya, "Mobil?"

yang di minta mendengus kasar sambil memutar bola matanya dengan malas, salah satu tangannya menekan pin dan membuat pintu itu terbuka lalu Sabiru masuk ke dalam tanpa menutup pintu kembali. Ia mengambil sebuah kotak dari dalam lemari dan berbalik lalu menaruhnya di atas telapak tangan adik bungsunya.

si bungsu menyerngit, membuka kotak itu segera dan membuang muka,"Ini mobil remot."

"Tapi mobil, bukan?"

"Iya, tapi ini mobil remot bukan mobil yang bisa kita pake," Yohan mendongak untuk menatap Sabiru dengan penuh protes, pupus sudah harapannya.

"Siapa bilang saya bakal beliin mobil yang bisa di pake?"

Yohan terdiam, menunduk lesu dan menghela nafas panjang lalu berbalik kembali menuju kamarnya. Ia berjalan lunglai sambil melihat mobil remot di tangannya dengan sedih. Ayolah, tadi malam ia sudah berandai andai tapi kenyataan sepahit topi miring.

sampai dirinya sendiri bahkan lupa soal kematian dan siapa seseorang misterius yang mendorongnya.

Yohan tidak peduli, yang lebih penting sekarang adalah mood pagi ini turun drastis menjadi begitu buruk karena di hantam oleh ekspektasi yang terlalu tinggi.

ia membuka pintu kamarnya lebar lebar lalu melempar mobil remot itu ke lantai, benda itu tergeletak mengenaskan di dekat kursi dengan meja belajar.

sedangkan si pemilik kamar sudah kembali merebahkan diri di atas kasur empuk dan berteriak kesal, "Asu si sabiru, udah nerbangin anak orang ampe ke surga nirwana malah di hempas balik lagi ke bumi, tai emang."

"Kalo aja gua berani, udah gua slepetin tuh cicak cicak di dapur, gua kumpulin terus sebar di kamar si bangsat itu."

Yohan memiringkan tubuhnya menghadap samping dan menatap fokus pada tembok putih, terus menggerutu, "Sabiru durhaka, gua doa in ntuh nanti kalo makan siang udah jadi di nasinya banyak batu batu kecil ampe kegigit, mampus."

[ Yohan ]

Bener kata orang, kalo kita mendoakan seseorang yang buruk buruk pasti akan berbalik ke diri sendiri.

"Gimana sih, ngapa jadi gua mulu yang daritadi kegigit batu batu kecil di nasi dah?" ia melirih agar ketiga pria di meja makan yang sama tak mendengarnya.

sungguh, mood hari ini benar benar hancur.

sebenarnya tidak ada yang salah, salahkan saja diri Yohan sendiri karena terlalu berekspetasi tinggi untuk di belikan kendaraan mobil, dan tidak bertanya dulu mobil apa yang di maksud. Lagipula kenapa juga tuhan masih berpihak pada Sabiru? segala doanya berbalik ke diri sendiri.

"Gua doa in si laknat yang bagus bagus bakal balik ke diri gua sendiri kali, ya?" ia berbisik pada dirinya sendiri sambil menggenggam satu paha ayam di tangan kanannya.

"Semoga Sabiru di beliin motor baru sama si Ernes," si empu terkikik geli, membuat ketiga pria di meja makan menjadi fokus padanya.

Yohan tidak merasa di abaikan seperti perkataan nenek Ara, walaupun memang tidak ada yang peduli meski ia termasuk seseorang yang bangkit dari kematian. Hanya Ernes saja yang rela menyuruh para pria berbaju hitam di luar, untuk mengusir para wartawan atau reporter dan beberapa jurnalis yang benar benar ingin tau sekali soal 'anak yang bangkit dari kematian'.

selebihnya, memang tidak ada yang peduli. Jika Yohan mengalami hal semacam ini di dunianya dulu, pasti mama akan sangat khawatir dan bahagia lalu memeluknya sepanjang malam, menyiapkan banyak kue dan menemaninya tidur.

mengusap kepalanya, menyanyikan lagu merdu yang Yohan sendiri tak pernah tau lagu apa yang sering di nyanyikan oleh mama, setiap ia jatuh sakit.

   Setelah selesai makan siang, Ernes meminta mereka semua berkumpul di ruang tamu yang sebelumnya pernah Yohan kunjungi pertama kali tiba di dalam rumah gedong ini.

ketiga pemuda duduk di sofa panjang, dan menatap fokus pada satu satunya pria dewasa dengan umur sekitar 46, yang di hiasi bekas luka di sekitar rahang, juga yang menatap mereka dengan tajam.

Yohan menghela nafas panjang, apa lagi ini?

"Sabiru, ayah sudah belikan motor yang kamu inginkan, juga Ezra tetap jaga harimau mu dan jangan pernah biarkan pintu kandang itu terbuka lagi.."

Yohan terkejut, tentu saja atas kalimat pertama dari si kepala keluarga. Sabiru? mendapat motor baru? seperti doa yang sebelumnya ia panjatkan? oalah asu.

ntuh orang kayaknya tipe orang yang di kelilingi oleh berbagai ke-hoki-an.

ia ingin iri tapi percuma, Ernes pasti akan langsung berucap 'anak siapa lu main minta minta aja', haha kayaknya gak bakal kayak gitu, deh. Tapi Yohan cemberut sendiri atas pemikirannya sendiri.

emang nih orang, dia yang salah kudu orang lain yang minta maaf. seperti itulah sifatnya kurang lebih.

".. dan untuk Johan, besok ayah antarkan ke sekolah sebelumnya. Kamu mau bersekolah, kan?"

Yohan mengangkat salah satu alisnya dan menyipitkan mata, "Emangnya kalo saya bilang 'gamau' bakal di turutin?"

Ernes mengangguk tanpa ragu, "Jika kamu ingin terus hidup dengan kebodohan, ayah akan turuti pilihan mu."

"Woah, bilang aja si bapak mau hina gua bodoh," ia membuang muka dan mendengus kesal, menghiraukan tatapan Sabiru yang semakin tajam karena ia menggunakan bahasa gaul.

mereka ini sangat kuno, kenapa pula tidak boleh bicara bahasa gaul di dalam rumah? kalo dengan orang tua, baiklah Yohan masih tau sopan santun, sedikit. Tapi jika dengan Sabiru dan Ezra, wajar dong? mereka kan sama sama laki laki.

Harusnya anjing anjingan juga boleh.

"Saya ga menghina kamu bodoh, tapi jika kamu merasa mungkin kamu memang bodoh. Belajar sana di kamar mu."

Ernes bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh dari ruang tamu, meninggalkan keheningan bagi ketiganya.

Setelah Ernes pergi, Sabiru segera mencubit kuat bibir milik Johan dan menatap manik kelam itu dengan penuh peringatan.

"Inget kan, bicara kotor lagi atau mulut kamu yang di robek?"

Yohan menyentuh jari jari milik kakaknya yang masih berada di sekitar bibir lalu menjauh dan mendecih, "Iya iya, maaf."

"Gak kedengeran kayak minta maaf yang niat," Ezra berceletuk meski si empu sibuk memainkan ponselnya.

"Emang gak niat," Yohan memeletkan lidahnya, bermaksud meledek pada kedua orang kakaknya lalu berlari menjauh secepat kilat menuju tangga dan naik ke atas, masih dengan tawa yang menggelegar.



Tbc

YohanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang