6 | Password

8.2K 553 10
                                    

Diyah terkejut saat mengetahui bahwa Embun sama sekali belum pernah ke apartemen Galil. Katanya tiap kali Embun bertanya alamat apartemen yang laki-laki itu tinggali, Galil selalu memberikan banyak alasan.

"Mungkin karena dia nggak punya pilihan lain," kata Diyah mencoba memberikan alasan yang paling masuk akal karena jujur dia sendiri bingung. "Galil kan lagi sakit jadi mau nggak mau harus kasih tahu dimana dia tinggal."

Setelah pintu lift terbuka, mereka berjalan keluar dari sana.

"Dan karena Galil sakit, gue jadi punya alasan untuk ke apartemennya," timpal Embun dengan bahagia. "Eh, Mbak. Gue ngumpet dulu, ya?"

"Hah?" Diyah bingung. Mereka sudah ada di depan pintu unit milik Galil. Tinggal menekan bel saja, tapi Embun malah memberikan ide yang membingungkan. "Kok pakai ngumpet segala?"

"Kan mau kasih kejutan."

"Emangnya lo nggak bilang mau ke sini?"

Dengan polos Embun menggeleng. "Tadi gue ngechat cuma untuk memastikan dia lagi ada dimana."

"Ya ampun lo ini," Diyah menggeleng-gelengkan kepala. "Iya, sih, ngasih kejutan. Tapi gimana kalau ternyata dia keberatan sama kedatangan kita? Gimana kalau mendadak dia harus pergi? Kan malah jadi ngerepotin."

"Mbak tenang aja. Gue tahu banget Galil itu orangnya kayak mana."

"Terus sekarang gimana? Lo mau ngumpet dimana?" Diyah menyempatkan diri untuk mengecek jam tangan miliknya. "Gue nggak punya banyak waktu. Sebelum istirahat selesai udah harus balik ke kantor."

"Mbak nggak bisa ijin kerja setengah hari?"

Diyah segera menghadiahi lengan adiknya dengan sebuah pukulan ringan. "Sembarangan aja! Tadi Gue udah ijin istirahat lebih cepat, masa sekarang mau ijin pulang cepat."

"Oke-oke." Embun memperhatikan sekitarnya. "Mbak berdiri di depan pintu."

"Elo?"

"Gue duduk jongkok di sebelah situ," katanya lalu bergegas ambil posisi. Embun benar-benar melakukan idenya. Dia agak menjauh lalu duduk dengan punggung menempel tembok.

"Lo agak geser sedikit," Diyah memberikan instruksi, "jangan duduk di dekat pintu orang."

Embun menuruti perintah Diyah. Ia menggeser posisinya. "Kayak gini aman, kan, Mbak? Galil nggak bakal nyadar, kan?"

Kalau posisinya seperti sekarang, Diyah yakin Galil tidak akan menyadari kehadiran Embun di sana. Ketika nanti pintu dibuka, fokus Galil akan langsung tertuju pada Diyah. Begitulah prediksi mereka.

"Gue tekan, nih." Diyah memberikan ancang-ancang. Embun mengangguk.

Pintu terbuka dan Galil muncul di sana dengan penampilan yang lebih baik dari sebelumnya. Laki-laki itu menatap Diyah dengan bingung. "Kok pencet bel? Mbak lupa password yang gue kasih?"

"Ahh ... itu ..." Diyah gelagapan. Dia sama sekali tidak memprediksi pertanyaan itu. Ditambah lagi ada Embun di sana yang sudah pasti mendengar percakapan mereka. "Yakali gue asal nyelonong masuk ke rumah orang." Setelahnya ia tertawa canggung.

"Galil!" seruan Embun menggelegar di antara mereka berdua. Ia dengan antusias langsung berhambur ke pelukan Galil. "Maaf, ya, gue baru bisa datang. Kerjaan gue nggak bisa ditinggal."

Perlahan Galil mengurai pelukan mereka. Wajahnya biasa saja. "Gue tahu kok lo sibuk. Masuk dulu, yuk. Lo juga, Mbak. Kita ngobrol di dalam."

***

Galil memberitahu password pintu ke Diyah bukan tanpa alasan. Malam itu saat Diyah dan kedua temannya datang ke sana untuk membawa laki-laki itu ke rumah sakit. Galil yang kondisinya makin parah tidak memungkinkan untuk membukakan pintu. Jadi dia memberitahu password pintu pada Diyah. Bahkan saking tidak kuatnya untuk berjalan sendiri, Mada sampai meminjam kursi roda dari lobby. Entah dari mana satpam gedung mendapatkan barang itu

"Lo nggak mau kasih password pintu ke gue?"

"Buat apa?" kening Galil mengerut.

Embun sedikit tersinggung. "Kok buat apa? Mbak Diyah aja tahu, masa gue nggak boleh."

Karena keterbatasan kursi di unit itu, mereka duduk lesehan. Untungnya Galil punya karpet sebagai alas.

"Mbun," Diyah menegur adiknya. "Waktu itukan kondisinya darurat. Jadi Galil nggak cuma-cuma kasih tahu password-nya ke gue."

"Tapi, kan ...." Embun masih tidak puas.

"Ngobrolin yang lain aja," Galil memberikan saran.

"Lo nggak kerja?" tanya Diyah secepat kilat. Ia ingin segera menghilangkan suasana aneh diantara mereka.

Galil mengangguk. "Kerja. Kebetulan tadi ada meeting di luar, jadi sekalian mampir ke apartemen."

"Lo belum makan siang?" tanya Embun khawatir.

"Belum. Gimana kalau kita cari makan sekitar sini?"

"Sorry, gue nggak bisa ikutan," sahut Diyah. "Gue cari makan di dekat kantor aja, takut jam makan siang keburu habis." Ia berdiri dan memberikan tatapan 'pamit' pada Embun dan Galil.

***

Geya terkejut melihat Diyah yang sedang makan dengan lahap. Seperti orang yang sejak kemarin belum makan. Ada sebungkus nasi padang di hadapan Diyah.

"Lo kesurupan, ya? Ngeri gue lihat porsi makan lo," kata Geya yang sedang sibuk melihat sesuatu di layar komputer. "Pelan-pelan aja kalik. Gue udah kenyang, nggak bakal minta. Kecuali lo dengan baik hati mau berbagi."

Diyah menggeleng-gelengkan kepala. "Gue menolak jadi orang baik. Jadi nggak bakal gue bagi."

Geya memonyongkan bibirnya. "Bilang aja lo pelit!" cibirnya. "Lagian kok lo baru makan siang? Gue pikir lo bakal makan siang sama Embun."

"Nggak sempat." Sedang sibuk mengunyah rendang, tiba-tiba Andra masuk. Diyah buru-buru menelan nasinya. "Eh, Pak." Ia menunduk malu.

Andra tersenyum. "Santai saja, silakan dilanjut," katanya sebelum naik ke lantai dua.

"Pak Bahir udah ada di atas?"

Geya menoleh ke Diyah. "Tadi pergi makan siang sama Aswin."

"Lho? Bukannya Aswin bawa bekal?"

"Ya, bekalnya dibawa sekalian." Geya beranjak dari kursi lalu mendekat ke Diyah. "Lo beneran nggak mau bagi-bagi ke gue? Dikiiit aja."

Diyah menatap Geya dengan tajam. "Bukannya lo udah makan siang?"

"Bau nasi padang bikin gue lapar lagi. Gara-gara lo, nih, diet gue gagal muluk."

"Lo, kan, emang setengah hati mau diet. Pakai nyalahin gue!" Diyah menyerahkan sendok plastik pada Geya. Mereka memang punya persediaan sendok plastik di laci meja. Alasannya tentu saja karena mereka malas mencuci. Jadi bisa sekali pakai. "Lagian badan lo udah bagus gini. Mau ngecilin yang mana lagi, sih?"

Diyah tidak berbohong. Diantara teman-temannya, Geya ini yang punya tubuh paling bagus. Tidak kalah dengan model-model di luar sana. Diyah saja sering kali tidak pede saat mereka jalan bersama.

"Kerja di dunia kontraktor berat," Diyah mengingatkan. "Lo harus banyak makan supaya punya tenaga ekstra. Boleh aja diet tapi mending lo pikir-pikir lagi. Lo harus bisa menyesuaikan sama aktifitas sehari-hari."

Geya nampak mempertimbangkan saran dari Diyah.

"Kerjaan kita di kantor banyak. Kadang diajak ke lapangan, sering juga harus ke perusahaan lain untuk antar tagihan. Terus lo mau makan cuma seuprit?"

"Ya, nggak seuprit juga."

Diyah menggeser sepotong rendang ke sisi Geya. "Yok, lah, kita makan yang banyak. Karena bertahan hidup butuh banyak tenaga."

-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang