18 | Tiba-tiba lamaran

7.1K 518 8
                                    

"Mbun, ini sepatu–"

"Hari ini lagi banyak diskon sepatu. Siapa tahu lo mau cari-cari yang cocok," Galil memotong ucapan Diyah, seakan tahu apa yang ingin dilakukan perempuan itu. "Lo kan suka koleksi sepatu."

Sekali lagi Embun menatap belanjaan di tangan Galil. "Lo beli yang mana? Kita beli yang sama aja gimana? Kan lucu, tuh."

"Yang gue beli tadi edisi terbatas, jadi stoknya udah habis."

"Yah ...." Wajah Embun memberengut. "Mbak Yayin mana?"

Diyah buru-buru menjawab. "Di toilet sama Shaum."

"Siapa Shaum?" Baru pertama kali Embun mendengar nama itu.

Saat itu juga Yayin dan Shaum muncul. Shaum melambaikan tangan pada mereka. Yayin sudah persis seperti seorang ibu yang sibuk menggandeng anaknya supaya tidak lari.

"Embun? Kok bisa ada di sini?"

Bukannya menjawab, Embun malah balik bertanya, "anaknya siapa, Mbak?"

Dengan bangga Yayin menjawab, "anak gue." Yayin nyengir kuda. Ia mendekat ke Embun dan berbisik, "pacar gue duda anak satu."

Embun tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Mulutnya sampai terbuka lebar membentuk huruf 'O'.

"Tante, Shaum mau burger."

Yayin lalu mengelus puncak kepala Shaum. "Udah lapar, ya?"

Shaum mengangguk.

"Shaum nggak masalah makan junk food?" tanya Diyah masih ragu. "Udah tanya ke Papanya?"

"Tadi gue udah telfon," jawab Yayin. "Shaum udah lama nggak makan begituan. Jadi nggak masalah kalau hari ini makan burger."

Embun menunduk untuk menyapa Shaum lebih dekat. "Kamu cantik banget." Dengan gemas ia mencubit pelan pipi Shaum. "Kamu kayak boneka."

"Tante juga cantik."

"Mbak, anak lo gemoy banget!" Embun heboh sendiri. Ia sampai mengguncang-guncang lengan Yayin. "Anaknya cakep begini apalagi Papanya?"

Yayin berdehem-dehem. "Gue emang ahlinya menemukan laki-laki tampan nan rupawan. Lo mau gue cariin?"

"Nggak, deh, gue kan udah ada Galil." Embun melipir mendekati Galil lalu merangkul lengan lelaki itu. "Shaum, Tante sama Om yang ini cocok, kan?"

Diyah dan Yayin saling berpandangan. Lalu Diyah menyadari tatapan Galil terus tertuju padanya.

"Om Galil kan pacarnya Tante Diyah."

Cengkraman tangan Embun pada lengan Galil langsung merosot. "Kata siapa?" tanyanya dengan nada tidak suka.

"Kata–"

Yayin buru-buru membungkang mulut Shaum. "Aduh ... kayaknya Shaum udah lapar banget, nih. Yuk, lah, kita cari burger." Setelahnya ia bergegas menggandeng Shaum dan membawa bocah cantik itu berjalan ke sebuah arah.

"Mbak," panggil Embun pada kakaknya yang terlihat akan pergi menyusul Yayin. "Kayaknya Mbak terlalu akrab sama Galil, Shaum aja sampai salah paham sama hubungan kalian."

Diyah terdiam. Dia sedang mencerna apa yang baru saja dikatakan Embun.

"Mbun! Lo apa-apaan, sih?!" ujar Galil tidak terima. "Memangnya kenapa kalau gue akrab sama Mbak Diyah?"

"Lil, gimana kalau orang lain juga berpikir kalian pacaran?"

"Terus kenapa?" tantang Galil. Ia sudah ingin melanjutkan kata-katanya, tapi Diyah lebih dulu menarik ujung kaosnya. Galil segera menghela napas.

"Kita susulin Yayin, yuk." Diyah bersiap untuk melangkah pergi dari tempat itu. "Kasihan Shaum kalau nungguin kita terlalu lama. Dia udah lapar banget."

Galil berjalan di belakang Diyah. Tapi baru beberapa langkah ia dibuat tidak nyaman dengan Embun yang tiba-tiba menggandeng lengannya. "Jangan kayak gini. Gue nggak mau orang lain berpikir kalau kita pacaran."

Saat itu juga Embun melepaskan lengan Galil. Langkah Embun makin melambat saat laki-laki itu menyusul dan menyamai langkah kaki Diyah.

***

Mada menyambut kedatangan mereka dengan suka cita. Nampak jelas ada sesuatu yang ingin segera ia sampaikan pada teman-temannya. Diyah dan Yayin sudah hapal dengan gerak-gerik Mada.

"Nyengir aja lo dari tadi," kata Diyah. "Kesurupan?"

"Nggak, dooong," ucap Mada dengan nada berlebihan. "Masuk dulu, nanti gue kasih tahu di dalam."

Galil menahan Diyah yang hendak masuk ke dalam rumah. "Ini sepatu yang tadi."

Diyah lebih dulu mencari keberadaan Embun. Ternyata Embun sudah masuk bersama Shaum. "Beneran ini buat gue?"

"Terus buat siapa lagi? Pokoknya jangan dikasih ke Embun lho, Mbak. Ini gue beli buat lo."

Diyah menerima plastik putih itu dengan setengah hati. "Gue terima ini, tapi nanti lo juga harus terima duit dari gue. Gue ganti sesuai harga sepatu ini."

"Santai aja, Mbak. Kayak sama siapa aja."

"Lil!" Diyah kesal sekali karena laki-laki itu terus saja menanggapi dengan asal. "Pokoknya nanti kirimin nomor rekening lo atau e-wallet juga boleh."

Lagi-lagi Galil bersikap tak acuh. Laki-laki itu tidak menanggapi dan malah masuk ke dalam kontrakan.

Mereka berkumpul di ruang tamu saat Mada memberi kabar bahagia tentang acara pertunangannya.

"Dua minggu lagi? Kok mendadak?" Yayin mulai curiga. "Lo bunting?"

"Heh!" Mada menoyor kepala Yayin. "Enak aja. Gue masih perawan."

"Tante mau punya dedek bayi?" pertanyaan dari Shaum berhasil membuat Yayin dan Mada tersadar kalau di antara mereka ada anak di bawah umur.

Embun segera menutup telinga Shaum dengan kedua tangannya. "Bahaya, nih, kalau Shaum dengar yang aneh-aneh. Nanti dia bisa ngadu ke Papanya."

"Acaranya di Bandung, Mbak?" tanya Galil. "Kita semua bakal ke Bandung, dong."

"Iya. Lo datang, ya." Mada mengedipkan mata ke Galil. "Banyak cewek cantik di Bandung, saudara-saudara gue cantiknya nggak kalah sama Anne Hathaway."

"Bebeb gue boleh ikut nggak?" kini Yayin yang bertanya. "Siapa tahu dia bisa ikut."

Mada mengangguk. "Boleh banget."

"Naik kereta kayaknya seru." Embun melontarkan ide yang langsung ditanggapi antusias oleh yang lain. "Kita naik kereta sama-sama. Gimana?"

"Ayok!" Yayin menyetujui. "Lo yang pesan tiket, ya? Kita-kita terima beres aja."

"Bisa diatur," ujar Embun dengan yakin. "Lo gimana, Lil?"

"Gue ngikut aja," jawab Galil. Matanya melirik Diyah yang ternyata juga sedang menatapnya.

Mada bertepuk tangan dua kali. "Oke! Jadi kalian sepakat bakal naik kereta. Kalau gue udah pasti berangkat duluan. Jadi nanti kita ketemu di sana. Oya, rencananya keluarga gue mau pakai baju warna pecan. Gimana kalau kalian pakai warna yang sama?"

Di tengah diskusi yang masih berlanjut membahas warna baju. Ada Diyah yang mulai tidak nyaman dengan tatapan Galil padanya. Lelaki itu menatapnya tanpa ragu, bukan lagi curi-curi pandang. Sudah dua kali Diyah meminta Galil untuk menatap ke arah lain, tapi laki-laki itu menolak.

-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang