10 | Petasan cabe

7.3K 514 11
                                    

Pagi itu di sela-sela waktu kerja. Diyah menelepon Ibu untuk menanyakan kabar Embun yang sejak pertengkaran mereka dua hari yang lalu, mereka belum ada komunikasi lagi. Informasi dari Ibu, saat Embun pulang dari Jakarta, putri bungsunya menangis dan mengatakan kalau ia dan Galil bertengkar. Embun sendiri tidak menceritakan detail pertengkaran mereka. Menurut Ibu, Embun dan Galil memang sesekali bertengkar. Tapi baru kali ini pertengkaran mereka sampai membuat Embun menangis seperti itu.

Diyah sendiri sengaja tidak menceritakan soal Embun yang marah dan menuduhnya. Diyah tidak ingin membuat orang tuanya khawatir.

"Oi!" Aswin mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah Diyah sampai perempuan itu mendongak menatapnya. "Ngelamunin apa? Dipanggilin dari tadi nggak nyahut."

Saking seriusnya memikirkan masalah Embun, Diyah sampai tidak sadar dengan kehadiran Aswin dan Geya di kantor. Hari ini Diyah memang datang lebih pagi.

"Apa?"

Aswin meletakkan lembaran kertas HVS berisi RAB yang sudah ada coretan sana-sini. "Pekerjaan yang ini udah kelar. Buat BAPP, ya. Nanti biar gue yang nyetorin tagihan ke mereka."

Bekerja di kantor kecil memang seperti itu. Tidak peduli apa posisi utama kita, kalau memang ada pekerjaan lain yang bisa kita kerjaan, ya, dikerjakan. Walaupun tugas pokok Aswin sebagai pengawas, tapi sering kali dia membantu Geya dan Diyah mengurus tagihan. Kadang saat ada waktu luang, Bahir juga ikut membantu. Katanya sekalian ngobrol dengan orang kantor dari perusahaan lain.

"Gue cari PO-nya dulu," kata Diyah. Ia pun bergegas menyibukkan diri dengan komputer di hadapannya. "Geya, lo lagi ngapain?" kesibukan Diyah terganggu dengan Geya yang entah sedang apa di sebelahnya. Diyah malas untuk menoleh, ia hanya mendengar suara benda-benda yang digeser.

Geya yang tadinya jongkok di bawah meja kemudian berdiri. "Gue lagi cari meterai. Tadi jatuh di bawah situ tapi kok nggak ada, ya?" ia menggaruk-garuk kepalanya. "Mana si Aswin? Cepat banget ngaburnya. Padahal mau gue mintain tolong."

"Pakai yang ada aja. Yang jatuh kita cari nanti."

Geya menyetujui saran dari Diyah. Dia menarik laci meja lalu menyambar lembaran meterai dari sana. "Kelar kerjaan ini kita bakal dapat bonusan nggak, sih?" ia menempelkan meterai sepuluh ribu ke lembaran invoice yang tadi ia cetak. "Kerjaan gede ini. Biasanya kita dapat gaji lebih."

"Ini bukan akhir tahun," Diyah mengingatkan.

"Lo lupa? Kadang-kadang bonusan kita turunnya nggak nunggu akhir tahun," timpal Geya. "Pak Andra, kan, baik."

Andra memang baik. Tapi Bahir sering kali beda cerita. Mengingat perusahan itu didirikan oleh mereka berdua. Jadi keputusan apapun berdasarkan persetujuan mereka. Andra dan Bahir pada dasarnya sama-sama bos yang baik. Bedanya, kalau Andra walaupun jarang ikut kumpul dengan karyawan, tapi sifat royalnya nggak main-main. Sementara Bahir terkenal paling ramah dan juga paling ketat soal uang yang keluar dari rekening perusahaan.

"Win, Aswin!" Geya melambaikan tangan saat Aswin membuka pintu kaca. "Tolongin gue dong, Mas Ganteng."

Aswin bergidik ngeri. "Lo lupa, ya, gue udah punya istri?"

"Apasih!" ucap Geya sewot. "Gue nggak doyan lakik orang."

"Terus yang tadi apa maksudnya?"

"Lho? Salahnya dimana?" tanya Geya terheran-heran. "Lo, kan, laki-laki. Ya, gue panggil ganteng. Mau lo gue panggil cantik?"

Aswin mendecakkan lidah sambil menggeleng. "Lo ngapain panggil gue?" Ia mendekat ke meja Geya. "Gue ogah kalau disuruh beli gorengan."

"Prasangka lo buruk terus sama gue," kini Geya yang menggeleng-gelengkan kepala. "Bantuin gue cari meterai di bawah. Tadi jatuh dan belum ketemu."

Aswin menunduk memperhatikan sekitar kaki meja. "Yang jatuh berapa lembar?"

"Selembar."

"Selembar doang, Geyaaa," sahut Aswin dengan malas. "Ikhlasin aja udah. Lagian tiap pagi ada Pak Gegar yang bersih-bersih kantor. Pasti ketemu. Pak Gegar, kan, super teliti."

Pak Gegar itu OB di kantor mereka. Sudah bekerja satu tahun belakang setelah OB sebelumnya mengundurkan diri karena masalah keluarga.

Ponsel Diyah di atas meja bergetar. Dari pop up yang muncul, Diyah melihat satu pesan dari Mada. Ia melepaskan tetikus yang sejak tadi ia genggam lalu beralih ke ponselnya.

Mada : jujur sama gue, lo ada apaan sama Galil?

Diyah mengerutkan kening.

Belum sempat mengetikkan sesuatu, pesan susulan kembali masuk.

Mada : td gue ketemu Galil, dia tanya lo punya pcr apa gk

Diyah : trs lo jwb apa?

Mada : gue jwb, diyah jomlo ngenes krn cintanya ditolak trs

Diyah : asuw!

***

Sore itu Diyah pulang bersama Mada. Kalau sedang tidak ada lemburan di kantor, mereka sering pulang bersama. Seringnya sih Mada yang menunggu Diyah karena lokasi kantor tempat Diyah bekerja yang paling dekat dengan kontrakan mereka.

Memasuki pelataran rumah, mereka dibuat heran dengan Yayin yang sedang bergelayut manja di pagar sambil mengobrol dengan seorang laki-laki berkacamata. Dua orang itu terlihat asyik mengobrol sampai tidak sadar dengan suara motor Mada.

"Itu ... bukannya Rifan? Anaknya Pak RT, kan?" Mada melepaskan helm lalu disampirkan ke kaca spion sebelah kanan.

"Masa lo nggak tahu? Rifan sama Yayin, kan, lagi pedekate."

Mada menunjukkan ekspresi jijik. "Hah?" Matanya tidak lepas dari dua sosok di pojok sana yang sedang ngobrol dengan tatapan penuh cinta. "Kutu buku macam Rifan masa mau sama petasan cabe?"

Kalau dilihat dari sifat mereka. Yayin dan Rifan memang sangat bertolak belakang. Rifan sosok laki-laki yang tidak banyak bicara, hobinya baca buku-buku tebal penuh manfaat. Sedangkan Yayin, cewek pencicilan yang kalau diberikan satu pertanyaan akan langsung dijawab dengan jutaan kata.

"Kalau nggak salah, Rifan itu salah satu pelanggan di tempat Yayin kerja."

"Boleh juga si Rifan ini." Mada mengangguk-anggukan kepala.

Yayin bekerja di toko baju yang ada disalah satu mall mewah. Rata-rata harga baju di sana cocok untuk kantong para sultan. Yayin sering cerita kalau hampir setiap hari ada saja artis yang datang ke sana.

"Kok kayak bau gosong?" indra penciuman Diyah menangkap bau asing yang entah dari mana. Ia memperhatikan sekitarnya. "Kayaknya nggak ada yang lagi bakar sampah."

"Jangan-jangan ada tetangga yang rumahnya kebakaran?"

Biasanya kalau memang ada rumah yang kebarakan, warga sekitar akan langsung heboh. Tapi anehnya saat itu semua nampak biasa saja. Damai-damai saja.

Tanpa aba-aba Mada langsung ngacir masuk ke dalam rumah. Diyah yang khawatir pun menyusul dengan helm yang masih terpasang di kepala. Sesampainya di dapur, mereka mendapati sebuah panci kecil yang pantatnya sudah bolong. Panci nahas itu ada di atas kompor yang apinya masih menyala.

"YAYIIIN!!"

*Note:
BAPP : Berita Acara Pemeriksaan Pekerjaan

-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang