29 | Peluk

7.6K 502 18
                                    


Bantat. Hangus. Dua hal itulah yang terjadi pada roti buatan Mada dan Diyah. Kalau soal hangus, sudah jelas karena dipanggang terlalu lama. Tapi soal bantat, mereka sendiri bingung kenapa jadi seperti itu. Padahal semua sudah dilakukan sesuai tutorial di video.

"Mama Yayin, ini apa?" tanya Shaum sambil menunjuk roti di atas meja. Roti-roti itu masih tersusun rapi di atas loyang.

Yayin membenahi posisi gendongannya. "Ini bencana alam."

"Apa yang salah?" Pertanyaan Diyah ditujukan untuk dirinya sendiri. Ia mengingat lagi tahapan yang mereka lakukan, seingatnya tidak ada yang salah atau terlewat. "Apa kurang lama di proofing, ya?"

Mada menggeleng. "Kita udah ikutin sesuai video. Gue sampai pakai stopwatch supaya waktunya pas."

"Ini semua nggak bisa dimakan?" Giliran Embun yang bersuara. "Padahal gue ada rencana mau bawa pulang."

Belum juga pertanyaan Embun terjawab, ada satu orang lagi masuk ke dapur.

"Lho? Apa ini?" Galil terkejut melihat penampakan roti hangus di atas meja. "Kok gini?"

"Yayin menyebutnya bencana alam," jawab Diyah dengan wajah kecewa. Hampir setengah hari waktunya dihabiskan di dalam dapur untuk menghasilkan bencana alam. Tahu gitu lebih baik dia menerima tawaran Galil untuk pergi kencan.

"Ini sama sekali nggak bisa dimakan?" Galil mencomot satu roti lalu mencuilnya sedikit dan dimasukkan ke dalam mulut. Baru sekali kunyah, ekspresinya langsung berubah. "Wah, ini jebakan batman!"

Untungnya mereka tidak membuat banyak. Dari adoanan yang dibuat, menghasilkan sekitar sepuluh roti berbentuk lonjong dan bulat seperti bunga.

"Untuk merayakan kegagalan ini, gimana kalau kita pesan makanan?" Ide dari Yayin berhasil membuat Mada dan Diyah menatapnya dengan sengit. Tapi dia tidak peduli. "Sekalian kita minta PJ ke Galil ."

"Yaudah, mau apa?" Galil mengeluarkan ponsel lalu membuka sebuah aplikasi.

Mada berjalan mendekati Galil. "Pilih yang dekat, cepat, enak, dan mahal!" Ia mengintip ke layar ponsel milik lelaki itu.

"Entar punya gue dipisah, ya. Soalnya gue mau kerja," Yayin menimpali.

Dengan senang hati Galil menyerahkan ponselnya ke Mada. "Ini kalian pilih sendiri."

Mada, Yayin, dan Embun langsung berkumpul. Mereka mendekat dan menempel satu sama lain untuk memilih makanan yang ada di sana. "Budget-nya berapa?" tanya Yayin.

"Yang penting masih masuk akal."

"Oke!!" Mereka beritga berseru dengan kompak. Tiga perempuan dewasa ditambah satu bocil nampak antusias mencari makanan yang mereka mau.

Diyah berjalan mendekat ke Galil. "Gimana kalau mereka beneran pesan yang mahal?"

"Ya, nggak pa-pa. Yang penting masih masuk akal."

"Yang lo sebut masuk akal itu sampai dinominal berapa?" Diyah mengurut keningnya dengan satu tangan. "Nanti kita split bill."

"Ngapain? Nggak usah."

Galil meraih tangan Diyah, kemudian ia membawa perempuan itu keluar dari dapur menuju ruang tamu. Di sana mereka duduk bersisian.

"Pokoknya nanti kita split bill!" Diyah masih ngotot. Saat Galil hendak membuka mulut, ia langsung menyambar, "nggak boleh nolak atau kencan besok batal!"

"Kita split bill-nya kapan-kapan aja."

Diyah menggelengkan kepala. Dia tidak mau Galil menanggung semuanya sendiri. "Akhir-akhir ini lo udah keluar duit banyak untuk kami."

"Iya, Mbak. Nggak pa-pa." Galil menenangkan. "Jadi, peluk gue nya kapan?" ia mengingatkan. Kondisi sekitar mereka cukup aman. Tiga perempuan di dapur terdengar masih heboh memilih makanan.

Diyah mendorong dada Galil saat laki-laki itu bergerak mendekat. "Di sini?"

"Maunya di mana?"

"Ya ... nggak tahu!" Diyah jadi salah tingkah.

Galil mengambil kesempatan itu untuk mengerjai Diyah. "Tempat yang sepi? Yang cuma ada kita berdua? Apartemen gue, dong! Yaudah ayok!"

"Heeh! Heh!" Diyah gelagapan saat Galil menarik tangannya.

"Ya, makanya peluk gue-nya kap– ... an?"

Diyah bergerak dengan cepat. Ia mengikis jarak diantara mereka. "Udah, kan?"

"Belum, lah!" Galil melingkari punggung Diyah dengan kedua lengannya yang kokoh. "Masa bentar banget."

"Mau sampai kapan?" protes Diyah. "Udah, ya?"

Galil mendecakkan lidah. "Lo niat nggak, sih, mau peluk gue?!" Ia tidak mau kalah. "Bentaaar lagi."

"Lil."

"Hm?"

"Makasih, ya."

"Makasih untuk apa?"

"Makasih karena nggak pernah menyerah."

Perlahan Galil menjauh, tapi kedua tangannya masih memegangi lengan Diyah. "Lo tersentuh sama perjuangan gue?" Ia berdehem-dehem sok keren. "Kalau dihitung-hitung, berapa tahun, ya, gue nunggu lo?" Galil pura-pura mengingatnya. "Yah, pokoknya dari lama banget."

"Kok lo bisa suka sama gue? Kita kan nggak pernah nongkrong bareng. Ketemu juga cuma sebentar."

"Pertama kali gue lihat Mbak Diyah, waktu lo lagi dikejar anjing."

"Kapan?" Diyah menjauh sampai tangan Galil terlepas dari lengannya. "Kok gue nggak ingat?"

Galil mengetuk kening Diyah dengan telunjuknya. "Kayaknya lo mulai pikun. Faktor usia nggak, sih?"

"Ini kita lagi serius!" geram Diyah. "Jadi kapan gue dikejar anjing?"

"Waktu itu gue sama teman-teman SMA lagi nongkrong di warung pecel." Galil mulai bercerita. "Terus lo lewat pakai motor, ngebut banget sambil teriak nggak jelas. Ternyata di belakang lo ada anjing yang lagi ngejar."

Diyah mencoba mengingat hal itu tapi kepalanya langsung blank.

"Semua yang ada di warung ketawa. Terus Embun bilang 'itu Mbak gue". Dari situ gue mulai penasaran sama lo."

"Kok gue nggak ingat apa-apa, ya?" Diyah nampak kesulitan mencerna cerita yang baru saja ia dengar. Masa iya dia sama sekali tidak ingat. Mana ada orang yang melupakan pengalaman dikejar anjing. "Waktu itu gue pakai baju apa?"

Galil mengedikkan bahu. "Entah, lupa."

"Jadi dari situ lo mulai tanya-tanya tentang gue ke Embun?"

"Iya. Ekspresi kocak lo waktu dikejar anjing benar-benar tak terlupakan."

Galil tersenyum. Senyuman yang hangat dan tulus. Senyuman yang membuat jantung Diyah bergemuruh dengan riang gembira.

Diyah kembali masuk ke dalam pelukan laki-laki itu. Kali ini tidak lagi ada protes atau adu mulut. Keduanya menikmati posisi itu.


-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |


PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang