28 | Morning Hugs

8K 521 17
                                    


Semalam Embun datang dengan kondisi yang kacau. Wajahnya, rambutnya, pakaiannya, pokoknya dia seperti orang yang baru saja kerampokan. Diyah memintanya untuk segera membersihkan diri lalu tidur. Awalnya Embun menolak, tapi Diyah dengan tegas menyuruh Embun untuk beristirahat.

Pagi ini setelah selesai sarapan. Embun dan Diyah duduk bersebelahan di meja makan. Mada dan Yayin memilih pindah posisi ke teras. Hari ini hari sabtu. Mereka semua libur kecuali Yayin yang akan berangkat kerja di siang hari.

"Mbak ... gue minta maaf." Kepala Embun tertunduk lemas. Ia sudah seperti ranting pohon yang habis terkena angin kencang. "Gue salah ... maaf."

Satu tangan Diyah mengarah ke pundak Embun lalu mengusapnya perlahan. "Kenapa selama ini lo harus bohong? Soal status gue, soal perasaan Galil."

"Gue suka Galil, tapi Galil sukanya sama Mbak Diyah," ujar Embun. "Waktu itu gue panik, gue takut kalian beneran jadian."

"Kenapa lo harus panik?" Diyah mengerutkan kening. "Lo kan tahu selama ini gue dan Galil nggak dekat. Sekalipun Galil main ke rumah, kami jarang ketemu dan ngobrol."

"Selain ganteng, Galil itu orangnya konsisten dan pantang menyerah." Embun mendongak menatap kakaknya. "Kalau gue kasih kesempatan ke Galil untuk pedekate sama Mbak, dia bakal berusaha sebaik mungkin. Dan gue takut Mbak goyah."

Diyah tidak bisa menyangkal. Karena benar adanya soal Galil yang pantang menyerah. Buktinya sekarang ia benar-benar goyah seperti apa yang ditakutkan Embun.

"Bahkan setelah beberapa tahun, Galil tetap suka sama Mbak Diyah."

"Dan sekarang gue dan Galil–"

"Iya, gue udah tahu."

"Lo udah tahu?" Diyah heran kenapa Embun bisa tahu status hubungannya dengan Galil yang baru terjalin semalam.

Embun meraih tangan kanan Diyah lalu digenggam dengan erat. "Gue nggak keberatan kalau Mbak dan Galil pacaran. Gue nggak akan merengek lagi. Maaf, ya, Mbak selama ini gue udah keras kepala. Gue terlalu manja sampai melukai perasaan Mbak Diyah."

"Gue juga minta maaf soal ... itu ..." Diyah meragu dengan kelanjutan kalimat yang ingin ia ucapkan. "Gue suka sama Galil. Kalau sekarang lo minta gue untuk mundur ...." Ia menggeleng-gelengkan kepala, "Gue nggak bisa."

"Mbak nggak perlu minta maaf," kata Embun dengan tegas. "Kalaupun nggak pacaran sama Mbak Diyah, Galil juga nggak akan mau sama gue."

"Gue–" ucapan Diyah terhenti saat Shaum berlarian memasuki dapur lalu berjongkok di dekat kaki kursi. "Lagi ngapain?"

Shaum mendesis dengan jari telunjuk ditempelkan ke bibir. "Tante jangan bilang-bilang, ya. Aku mau ngumpet di sini."

"Ngumpet dari siapa?"

"Dari Mama Yayin."

"Hah?!" kedua mata Diyah melotot. Suasana haru beberapa saat yang lalu langsung menguap. Ia terkejut pada panggilan 'mama' yang ditujukan untuk Yayin.

Saat itu juga Yayin masuk ke dapur dengan kepala yang celingukan mencari sesuatu. "Ada yang lihat anak gue?"

Diyah langsung berdiri. "Yin, sejak kapan panggilan kalian jadi 'mama' dan 'anak gue'?"

Yayin nyengir. "Bebeb yang nyuruh begitu. Katanya latihan jadi keluarga bahagia."


***


Shaum sedang asyik bermain bersama Yayin dan Embun di ruang tamu. Sementara Diyah dan Mada sibuk memanggang roti di dapur. Bermodalkan resep dari youtube dan oven tangkring yang baru dibeli Mada, mereka nekat mencoba resep yang sudah lama ingin mereka buat.

"Galil nggak ke sini?"

"Galil? Oh ... itu ... dia ke sininya besok. Sekalian gue mau antar Embun pulang."

Mada cekikikan melihat tingkah Diyah yang nampak belum terbiasa dengan status baru yang disandang. Yaitu 'Pacarnya Galil'.

"Akhir pekan gini si Galil ngapain di apartemen?" Mada lanjut bertanya. "Kalau cuma rebahan, mending suruh ke sini, nyicip roti buatan kita."

"Roti yang kita buat belum tentu jadi," Diyah membungkuk di depan oven. Ia memperhatikan adonan yang sudah dua puluh lima menit di dalam sana. "Biarin aja dia berakhir pekan sendirian atau sama teman-temannya."

"Yaelah, Galil nggak bakal keberatan akhir pekannya lo ganggu. Dia malah senang karena bisa ketemu sama lo."

Diyah pindah posisi ke sebelah Mada yang sedang mempersiapkan adonan baru.

"Mbak."

Diyah dan Mada menoleh bersamaan. Galil memasuki dapur sembari memamerkan senyumnya yang menawan. Laki-laki itu mengenakan kaos berwarna pink. Bukan pink yang mencolok, tapi pink kalem. Ada gambar garis berwana putih yang membentang horizontal dibagian dada.

"Lho? Kok ...?" Diyah kebingungan.

Mada tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Galil. "Astaga! Pink! Pink!" Baru kali ini ia melihat seseorang terlihat maskulin saat mengenakan baju berwarna pink.

"Mbak Yayin ngechat gue, katanya kalian lagi buat roti," Galil menjelaskan. Ia berdiri di sebelah Diyah. Satu tangannya bergerak melewati punggung perempuan itu lalu berpegangan pada kursi.

"Modus!" celetuk Mada yang matanya sudah kembali ke layar ponsel. "Lincah banget, tuh, tangan."

Galil terkekeh. "Mbak Mada tahu aja."

Diyah menoleh. "Kenapa?"

"Morning hugs," bisik Galil.

"Nanti aja," ucap Diyah dengan cepat. Dua kata itu berhasil membuat Galil kegirangan. "Tunggu di depan."


-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |


PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang