25 | Apes

6.6K 548 25
                                    


Aswin datang membawa buah dan gorengan. Wajahnya sumringah tidak seperti biasanya. Diyah dan Geya jadi curiga.

"Lo dapat bonusan, ya?" tanya Diyah sambil mencomot bakwan goreng yang masih hangat. Tidak lupa dua cabai rawit juga ikut serta di genggaman. "Gue mau protes kalau beneran lo doang yang dapat bonus."

"Betul!" timpal Geya. Dia sedang sibuk mengupas jeruk. "Ngaku lo, Win! Jangan ada dusta diantara kita."

"Bonusan apaan, sih!" Aswin mendecakkan lidah. Nada suaranya memang terdengar kesal, tapi wajahnya malah tersenyum malu-malu. "Itu ... istri gue hamil. Ini sebagai rasa syukur karena gue dan istri dikasih rejeki anak lebih cepat."

"Wiiih!" Geya dan Diyah langsung heboh.

Geya menepuk lengan Aswin. Kebetulan laki-laki itu berdiri tidak jauh dari kursinya. "Lo gaspol, ya?" tanyanya yang disusul tawa dari Diyah.

"Bukan karena gue gaspol, tapi gue dan istri bekerjasama dengan baik."

"Pantesan langsung jadi, dua-duanya udah kebelet punya anak," celetuk Diyah kemudian mereka bertiga terbahak. "Bentar lagi Aswin mau jadi bapak-bapak. Awas aja kalau jokes lo bapak-bapak banget."

Aswin menegakkan punggungnya lalu berkata, "gue mau jadi hot daddy." Ia berlaga merapikan kerah kemejanya. "Gue nggak mau kalah sama artis-artis."

"Eh, Pak Andra datang," Geya menginterupsi saat ia melihat ada seseorang berdiri di depan pintu kaca, seperti sedang menelepon.

Andra mendorong pintu kaca. Ia menenteng tas dan ponsel di tangan kiri. "Kalian kelihatan cerah banget hari ini."

"Istrinya Aswin hamil, Pak," seru Diyah.

"Istri lo hamil, Win?" tanya Andra pada Aswin. Saat santai begini, Andra terbiasa berbicara nonformal pada karyawannya. Tapi kalau sedang rapat, jangan harap ada senyuman di wajahnya. "Selamat, ya."

Aswin tersenyum lebar. "Iya, Pak. Thank you!"

"Jeruk, Pak. Aswin yang bawa." Geya menyodorkan jeruk yang ada di kantorng kresek.

Andra memilih dua jeruk yang menurutnya paling menarik. "Baru awal kehamilan kita-kita dibawain gorengan sama buah. Nanti tujuh bulanan steak, ya?"

"Setuju!!!" Geya dan Diyah bersorak bersama.

Wajah Aswin langsung masam. "Menguras kantong banget itu, Pak. Jangan steak, nggak ramah untuk dompet saya. Kalau saya paling mentok mi ayam abang-abang."

"Yang totalitas dong, Win." Diyah memanaskan suasana.

"Maaf, ya, sobat, biaya pampers nggak ditanggung BPJS. Jadi gue harus ngirit!" tegas Aswin dengan wajah serius. Tapi ia kembali nyengir ketika menatap Andra. "Pak Andra nggak mau langsung ke atas?"

"Kenapa? Takut gue minta yang lebih mahal dari steak?"

Aswin mengangguk. "Geya sama Diyah pasti satu suara sama Pak Andra. Saya kalah telak."

"Oke, gue ke atas. Dari pada lo makin tertekan," kata Andra dengan nada bercanda. Sebelum beranjak tidak lupa ia meminta Geya untuk menyimpan beberapa buah jeruk untuk Bahir yang katanya akan datang sebentar lagi.

"Win, kapan-kapan kita makan bareng sama istri lo, ya."

"Gue setuju sama Geya!" Diyah menggeser kursinya mendekat ke meja. "Kayaknya istri lo bakal asyik diajak rumpi."

"Rumpi itu dosa wahai para hawa." Aswin mulai memberikan petuah. "Suka banget kalian ngegosip nggak jelas."

Geya langsung berseru, "mana pernah gue sama Diyah ngerumpi nggak jelas?!" ia tidak terima.

"Oke-oke." Aswin tahu dia harus mengalah. "Jadi beneran kalian mau ketemu istri gue?"

"Iya. Gue sama Diyah ngikut jadwal kalian."

Aswin mengeluarkan ponselnya. "Bentar gue tanya ke my wife dulu."


***


Sore itu pukul setengah lima. Tinggal Diyah seorang diri di kantor, karena dia harus menyelesaikan beberapa pekerjaan. Setelah komputer dimatikan, ia bergegas membereskan barang-barang untuk pulang ke apartemen Geya. Namun saat akan mengunci pintu, ia tidak juga menemukan kunci yang biasanya tersimpan di laci meja atau menggantung di dekat kaca.

"Nggak ada, Win," kata Diyah dengan nada lelah. Ia sudah mencari sana-sini tapi tidak juga menemukan barang yang dicari. Aswin sudah menyebutkan beberapa tempat dimana biasanya mereka meletakkan kunci. "Nggak lo bawa pulang, kan?" Diyah membenahi posisi ponsel yang menempel di telinganya. "

"Gua udah bongkar tas yang tadi gue pakai ke kantor. Nggak ada."

"Kantong jaket atau celana lo mungkin?"

"Nggak ada juga."

Diyah berdiri di depan meja kerjanya dengan satu tangan memegang ponsel sementara tangan yang lain mengusap kening. Ia capek, lapar, dan ingin pulang.

"Oh! Coba lo ke atas. Jangan-jangan ada di ruangan Pak Andra. Tadi siang gue sempat nongkrong bentar di sana. Kalik aja nggak sengaja gue tinggal."

Tanpa menunggu lama, Diyah berlari menuju lantai dua. Dan benar saja, kunci yang ia cari ada di meja Andra.

Kantor sudah terkunci dengan benar. Diyah menuju motor yang terparkir di depan kantor. Motor itu akan ia bawa ke bengkel langganan. Entah apa lagi yang rusak padahal belum lama keluar dari bengkel. Nanti motor itu akan ditinggal di bengkel lalu ia pulang naik ojol.

Belum juga naik ke motor. Diyah mendapati ban depan kempis, seperti hampir tidak ada angin di dalamnya. "Bocor?!" seru Diyah dengan kesal.

Lokasi bengkel langganan sangat dekat. Jadi Diyah memutuskan untuk mengendarai motor dengan perlahan. Posisi duduknya hampir ke tengah untuk meringankan beban pada ban depan. Saat sudah hampir sampai di bengkel, sebuah motor melaju cukup kencang dari arah belakang lalu menginjak genangan air dan air pun memuncrat ke arahnya.

Diyah segera mengerem dan memperhatikan baju, celana , serta sepatunya. "Apes banget gue hari ini!!"


***


Diyah sampai di lobby pukul delapan lewat. Penampilannya sudah kacau, perutnya lapar. Tapi sepertinya sesampainya di atas nanti ia akan langsung mandi dan tidur saja. Dia sudah tidak ada tenaga untuk mengunyah makanan.

Ketika sudah di depan pintu unit. Kaki dan tangan Diyah terasa lemas. Sepertinya ini efek kelelahan dan kelaparan. Lalu ia kembali teringat beberapa kejadian yang hari ini menimpanya. Mulai dari kunci yang hilang, ban bocor, tersiram air kotor, dan terjebak macet. Benar-benar hari yang panjang.

Karena kakinya masih enggan pergi dari sana. Diyah berbalik badan lalu duduk melantai di depan pintu. Kakinya dilipat lalu dipeluk dengan ke dua tangan. Ia memperhatikan sepatu baru yang kini terlihat kotor. Tiba-tiba matanya terasa panas, pandangannya mulai kabur karena air mata yang menumpuk.

Di tengah-tengah helaan napasnya, Diyah mendengar suara langkah kaki yang makin mendekat. Saat ia sedang mengusap kedua matanya, sepasang kaki berhenti di hadapan Diyah. Sepasang kaki yang memakai sepatu sama persis seperti yang ia kenakan.

Pemilik kaki itu berjongkok dan mata mereka bertemu. Bukannya terkejut, Diyah malah hampir melompat masuk ke dalam pelukan orang itu. Seseorang yang akhir-akhir ini ia hindari.

"Galil ..." gumam Diyah sangat pelan.

Tangan kanan Galil terulur menuju lengan perempuan itu. "Ngambeknya udahan, ya?"

Satu kalimat dari Galil berhasil membuat tembok pertahanan Diyah runtuh. Ia menenggelamkan wajahnya diantara kaki lalu menangis tersedu-sedu. Ia seperti bom waktu yang kini sudah sampai waktunya untuk meledak.


-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |


PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang