24 | Yin!

6.5K 470 4
                                    


Diyah sedang berada di gudang. Ada mobil dari toko langganan yang datang membawa semen dan beberapa jenis besi. Biasanya ini tugas Aswin. Tapi tidak jarang jadi tugas Diyah dan Geya juga ketika Aswin sibuk di proyek. Lagipula yang harus ia lakukan hanya mengecek apakah barang yang datang sesuai pesanan. Biasanya ada sebagian barang yang langsung dikirim ke lokasi pembangunan.

"Mas Aswin lagi sibuk banget, ya, Mbak?" tanya sang sopir sambil mengawasi dua orang yang sedang memindahkan besi-besi panjang ke dalam gudang. "Dua hari yang lalu saya nganterin barang ke sini, Mas Aswin juga nggak ada. Waktu itu saya sama Mbak Geya."

"Aswin lagi super sibuk, Pak," jawab Diyah dengan ramah. Walaupun jarang bertemu, ia dan Geya cukup akrab dengan para sopir dari toko langganan.

Semua barang sudah tersusun rapi di gudang. Jumlah barang yang datang juga sesuai dengan pesanan. Selesai membubuhkan tanda tangan pada nota, Diyah pamit pada Wira–satpam gudang–untuk kembali ke kantor. Sedangkan Wira dan laki-laki lain di tempat itu masih asyik ngobrol sembari menyantap gorengan dan kopi panas.

Hari ini Diyah mengendarai motor milik kantor yang kemarin baru saja keluar dari bengkel. Maklumlah benda itu sering dibawa keliling proyek. Jadi ada saja yang harus diperbaiki.

"Ya ampun!!" Geya heboh melihat Diyah datang dengan kondisi pakaian yang hampir basah semua. "Lo nekat nerobos hujan? Kenapa nggak neduh?!"

Diyah menggigil. Ia menerima handuk kecil yang baru saja dilempar Geya ke arahnya. "Dari gudang ke kantor kan nggak jauh. Jadi gue pikir nggak masalah kalau jalan terus. Eh, tahu-tahu hujannya makin deras. Mau berhenti juga nanggung, udah basah gini."

Geya melihat kaki Diyah tidak lagi memakai sepatu. "Sepatu lo kemana?"

"Basah. Gue lepas di depan." Diyah menuju laci di bawa meja kerjanya. Di sana ia menyimpan baju ganti sebagai cadangan. Ia dan Geya memang selalu memiliki baju cadangan di kantor. Berjaga-jaga karena hal semacam ini sering kali terjadi. "Gue ganti baju dulu."

"Iya, sana-sana."


***


"Ini juga nggak muat sama gue." Diyah memandangi beberapa pasang sepatu milik Geya yang satupun tidak ada yang muat di kakinya.

Karena kehujanan tadi siang, sepatu Diyah jadi basah kuyub. Besok tidak mungkin bisa dipakai. Nahas dia cuma membawa sepasang sepatu dari kontrakan.

"Mau coba yang lain?" Geya bersiap untuk mengambil koleksi sepatu miliknya yang ia simpan di kamar.

"Nggak usah," tolak Diyah. "Kaki kita beda ukuran. Jadi nggak mungkin bisa dipaksa."

Diyah melirik jam dinding yang ada di sana. Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Ia pun mendapat sebuah ide.

"Mau ngapain?" tanya Geya saat Diyah tiba-tiba berdiri.

"Ambil hape. Gue mau minta tolong Yayin atau Mada."

Diyah beruntung karena saat ia menelepon Yayin, temannya itu sedang bersiap hendak pergi bersama kekasihnya. Dan Yayin tidak menolak ketika Diyah meminta pertolongan.

Satu jam kemudian Diyah mendapat telepon dari Yayin, temannya itu mengabari kalau sudah ada di bawah. Dengan terburu-buru Diyah turun. Ia sampai meninggalkan sepiring nasi dan ayam goreng yang sedang ia santap bersama Geya.

Rifan menunggu di dalam mobil saat Yayin dan Diyah sedang temu kangen di lobby.

"Yang ini, kan?" Yayin menyerahkan tote bag besar yang di dalamnya berisi kotak sepatu.

"Lho? Kok yang ini?" Diyah terkejut karena Yayin membawakan sepatu yang dibeli Galil untuknya.

Yayin memandangi Diyah dengan bingung. "Kan lo bilang 'tolong bawain sepatu gue yang baru', gitu."

"Aduh!" seru Diyah. "Bukan 'sepatu gue yang baru' tapi 'sepatu gue yang biru', Yin." Ia menggeleng-gelengkan kepala. "Lo kok bisa tahu sepatu ini gue simpan di bawah tempat tidur?"

"Ya, kan, gue dengarnya lo nyuruh bawa sepatu yang baru. Waktu gue cari-cari di rak, nggak ada sepatu yang kelihatan baru. Iseng aja gue cari di kamar lo. Ketemu, deh!"

"Yaudah nggak pa-pa."

"Kalau nggak besok pagi gue antar lagi pakai kurir."

"Nggak usah, Yin. Lagian gue nggak bakal lama tinggal di sini."

Yayin langsung memasang wajah sedih. "Lo kapan pulang? Emangnya lo nggak kangen sama nasi goreng buatan gue?"

"Nasi goreng yang hangus itu?"

"Biar hangus tapi tetap layak dimakan."

"Sebentar lagi gue balik ke kontrakan." Diyah melirik mobil Rifan yang terparkir tidak jauh dari posisi mereka berdiri. "Udah sana dilanjutin kencannya. Kasihan kalo si bebeb nunggu lama."

Mereka berdua menyempatkan diri untuk berpelukan sebelum akhirnya Yayin berjalan dengan langkah cepat menuju mobil hitam.


***


"Sepatu baru?" tanya Geya. Ia melihat Diyah menenteng kotak sepatu.

Diyah meletakkan kotak itu ke sofa, tepat di sebelah Geya yang sedang duduk sambil nyemil sereal. Ia pun ikut merebahkan bokong di sana. "Yayin salah bawa."

"Cakep, nih." Padahal Geya belum membuka kotak itu, tapi sudah lebih dulu memberikan pujian. "Lihat, boleh?"

Dengan satu tangan Diyah membuka penutup kotak itu lalu menyingkirkan kertas putih transparan yang membalut sepatu. "Sebenernya gue sama sekali nggak mau pakai sepatu ini."

"lho, kenapa?" Geya heran. "Ukurannya nggak sesuai?" Ia melihat bagian bawah sepatu untuk melihat nomor yang ada di sana. "Ini ukuran sepatu yang biasa lo pakai."

"Itu dari Galil."

"Wow!" seru Geya dengan nada tinggi.

Diyah menyandarkan kepalanya ke sofa. Dipandanginya langit-langit ruangan dengan putus asa. "Gue nggak mau pakai sepatu ini."

"Dipakai aja, lah." Geya meletakkan kembali sepatu ke dalam kotak. "Kalau lo merasa keberatan, lo ganti aja uangnya."

"Galil nggak mau," jawab Diyah. "Berkali-kali gue tanya nomor rekening tapi nggak dijawab. Mau gue kasih cash pun ada aja alasannya."

Geya mengangkat kotak itu lalu diletakkan ke pangkuan Diyah. "Yaudah dipakai aja. Itung-itung lo menghargai pemberian orang lain. Lagian Galil kan bukan orang asing."

Masalahnya Diyah akan merasa bersalah pada Embun kalau dia sampai memakai sepatu itu. Seakan-akan ia merebut barang kesayangan milik adiknya.

"Sepatu lo kehujanan dan belum kering," Geya mengingatkan. "Dan satu-satunya sepatu yang bisa lo pakai cuma sepatu ini. Kecuali besok lo mau nekat pakai sandal. Kalau Pak Andra tahu, bisa habis lo kena omel."

Andra dan Bahir memang cukup sensitif dengan apapun yang dipakai pegawainya. Menurut mereka, selama jam kerja tidak boleh pakai sesuatu yang terkesan asal dan tidak profesional.

"Galil juga nggak bakal lihat waktu lo pakai ini."

"Kalau besok dia ke kantor lagi gimana?"

"Lo tinggal ngumpet kayak biasa. Beres."


-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang