17 | Kesempatan

6.6K 473 31
                                    

Pada akhirnya Yayin dan Shaum ikut pergi bersama Galil dan Diyah. Mereka ke salah satu pusat perbelanjaan karena Yayin ingin membawa Shaum bermain di playground yang ada di sana. Tadinya Mada juga mau ikut, tapi didetik-detik keberangkatan, Kaysan menelepon.

Sementara Yayin asyik menemani Shaum mencoba beberapa permainan. Galil memanfaatkan hal itu untuk menyeret Diyah pergi bersamanya. Tentu saja perempuan itu terus-terusan melayangkan protes. Tapi Galil tidak mau mengalah. Mereka masuk ke sebuah toko baju.

"Yang ini kelihatan kekecilan nggak?" tanya Galil yang baru saja menyibak tirai dan memperlihatkan kaos berwarna cokelat yang sedang ia kenakan.

Sejenak Diyah memperhatikan. "Kaosnya untuk santai di rumah atau pergi-pergi? Kalau untuk santai di rumah kayaknya kurang longgar."

"Iya, ya?" Galil setuju dengan saran dari Diyah. Ia memperhatikan dirinya di depan cermin. "Harus cari yang ukurannya lebih besar."

Sejak tadi Diyah penasaran dengan Galil yang nampak tidak nyaman dengan kerah pada kaos itu. Laki-laki itu beberapa kali menyentuh lehernya. "Lo kenapa?"

"Ini bikin nggak nyaman." Galil menunjukkan label di baju yang letaknya menyentuh kulit.

Diyah paham dengan ketidaknyamanan yang dirasakan Galil. Memang ada sebagian orang yang terganggung dengan hal itu. "Terus gimana? Mau coba cari yang lain? Pasti ada baju yang posisi labelnya nggak nempel kulit.

Galil menggeleng. "Yang ini aja nggak pa-pa. Nanti sampai rumah tinggal gue gunting."

"Jadi selama ini lo kayak gitu?" tanya Diyah dan Galil hanya mengangguk.

Selesai dengan urusan baju, mereka pindah ke toko sepatu. Di sana mereka langsung disambut seorang pramuniaga berseragam yang dengan ramah menjawab pertanyaan dari Galil.

"Kebetulan hari ini ada edisi spesial untuk sepatu couple," kata si pramuniaga sambil menggeser posisi berdirinya untuk menunjukkan tiga pasang sepatu dengan warna yang berbeda. "Ini merk lokal. Desain ini khusus dibuat untuk merayakan ulang tahun perusahaan. Produksinya nggak banyak. Setiap toko yang kerjasama dengan mereka mendapat tiga pasang sepatu dengan desain dan warna yang berbeda."

Mata Galil langsung tertuju pada sepatu putih dengan corak biru dan abu-abu. "Mbak, gimana kalau beli yang ini?"

Diyah ikut memperhatikan sepatu yang kini dipegang Galil. Ia menggeleng. "Bagus, keren. Tapi coba kamu telfon Embun dulu. Siapa tahu dia mau warna yang lain."

Wajah Galil langsung masam. "Kok tanya Embun?"

"Ya, kan, kalian couple."

Galil berdecih kesal. "Gue mau beli ini untuk kita. Lo sama gue."

"Eh, nggak usah," tolak Diyah. Jalan berdua begini saja sudah membuatnya resah, apalagi kalau mereka sampai punya barang couple. "Untuk lo sama Embun aja."

Galil mengacuhkan permintaan Diyah. Ia membawa perempuan itu duduk di salah satu kursi untuk melihat nomor sepatu yang ada pada bagian bawah sepatu Diyah.

Setelah berhasil mengetahui nomor sepatu milik Diyah, Galil meminta pramuniaga untuk membawakan dua pasang sepatu yang ukurannya sesuai untuk mereka berdua.

"Lil, ini berlebihan." Diyah mengguncang lengan Galil. "Gue nggak mau terima barang semacam itu dari orang lain. Gue nggak enak."

"Yaudah kita pacaran aja. Biar gue bukan lagi orang lain buat lo."

"Lil ..." Diyah mendesis. "Ini salah, kita nggak boleh kayak gini."

Galil membenahi posisinya untuk menghadap lurus menatap Diyah. "Mbak, lo punya pacar?"

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang