9 | Hah?

7.6K 544 17
                                    



Tiap kali ke salon. Yang paling banyak menghabiskan waktu tentu saja Mada. Semua perawatan akan dia coba. Mada terbiasa memilih paket komplit. Katanya lebih hemat, apalagi kalau sudah berlangganan. Sementara Diyah memutuskan untuk merapikan rambutnya, ujung-ujungnya saja. Diyah tidak pernah betah punya rambut terlalu panjang. Menurutnya itu menghabiskan waktu saat keramas atau mengeringkan. Jadi rambut yang panjangnya sudah jauh melebihi bahu itu dipangkas rapi sesuai permintaan Diyah.

"Bagus yang mana?" Mada menunjukkan katalog warna rambut pada Diyah. Mereka berdua sama-sama duduk menghadap kaca. Diyah sudah rapi dengan gaya rambut baru, sedangkan Mada masih ingin mewarnai rambut. "Milk Beige keren, nggak?"

Diyah memperhatikan warna yang sedang ditunjuk oleh Mada. "Bukannya lo udah pernah pakai warna ini?"

"Iya, ya?" Mada lupa.

"Yang ini lebih bagus."

"Purple Beige?"

Diyah mengangguk. "Kalau nggak smoky pink."

Mada langsung menggeleng. "Banyak yang pakai warna itu. Gue mau yang beda." Ia kembali mempertimbangkan saran Diyah yang pertama. "Yang ini aja kalik, ya."

Biasanya kalau bimbang begitu ujung-ujungnya Mada tidak jadi mewarnai rambut. Diyah hapal betul kebiasaan perempuan satu itu. Kalau tidak jadi mewarnai rambut, nanti sesampainya di rumah barulah Mada menyesal lalu merengek minta diantar ke salon lagi. Diyah tentu saja tidak sudi mengantarnya kembali ke salon. Apalagi Yayin yang jelas-jelas anti salon. Yayin bilang bau salon bikin pusing.

"Yah, Diyah," panggil Mada meminta perhatian. "Si Embun beneran pacaran sama Galil?"

Diyah menoleh dengan malas. "Mungkin."

"Mungkin?"

"Gue nggak ngerti sama hubungan mereka."

"FWB?"

Diyah lantas menggeplak lengan Mada cukup keras. "Ngawur!"

"Yailah nebak doang." Mada mengusap lengannya yang terasa panas. "Kalau hubungan mereka belum pasti, gue mau maju."

"Lo mau ngapain?"

"Gue mau maju, mau bantuin mereka biar cepat jadian," ungkap Mada dengan percaya diri. "Geregetan banget lihat orang-orang yang jadiannya lama begitu. Jiwa makcomblang gue meronta-ronta."

Diyah mengembalikkan katalog yang sejak tadi ia pegang ke meja. "Nggak usah ngurusin hubungan orang. Itu Bang Toyib coba ditanya kapan ngasih kepastian."

"Udah, kok."

Kursi Diyah langsung bergerak mendekati Mada. Posisi mereka mepet tak bercelah. "Serius?" Diyah mulai kepo.

"Gue udah dilamar dooong," Mada pamer dengan alis yang naik turun. "Cincinnya ada di kamar, gue nggak mau kalian heboh makanya nggak gue pakai. Entar kalau udah lamaran resmi baru gue pamer cincin sana-sini."

Diyah menyikut lengan Mada dua kali. "Cie, yang bentar lagi mau jadi istrinya Bang Toyib."

Yayin dan Diyah selalu memanggil Kaysan–pacar Mada–dengan sebutan Bang Toyib karena jarang sekali laki-laki itu pulang ke Indonesia. Mada tidak pernah menjelaskan secara jelas apa pekerjaan pacarnya. Tapi Diyah dan Yayin yakin pacarnya Mada tajir melintir.

"Nanti kalau udah pasti tanggal lamaran resminya, gue pasti kasih tahu kalian."

"Siap-siap lo jadi nyonya sultan."

"Dih, pacar gue namanya Kaysan bukan Sultan."

Diyah mendecakkan lidah. "Gue lupa kalau kadang-kadang otak lo nggak ngerti sama kata kiasan."

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang