7 | Meja makan

7.8K 529 11
                                    

"Gilak! Tebal amat make up lo!" seru Mada yang melihat banyaknya tisu bekas Yayin membersihkan make up.Tisu-tisu itu berserakan di meja ruang tamu sementara Yayin sendiri masih terus menggosok-gosok wajahnya di depan cermin kecil yang sedang dipegang. "Gue dengar-dengar, make up tiap hari nggak bagus buat muka."

Yayin mendecakkan lidah. "Mau gimana lagi. Gue begini karena tuntutan pekerjaan. Kalau nggak make up entar gue dapat teguran atau paling parah dipecat. Kalau gue dipecat, lo mau ngasih gue makan dan jajan?"

Pekerjaan Yayin sebagai salah satu SPG di Mall memang mengharuskannya tampil rapi dan fresh dengan make up dan seragam klimis setiap hari.

"Entar kalau kantor gue buka lowongan, gue kasih tahu," kata Mada yang tangannya sibuk dengan ponsel. "Nggak tega juga gue lihat muka lo tiap hari ditemplokin make up kayak gitu."

Yayin selesai membersikan wajahnya. Ia pun mulai memunguti tisu lalu dimasukkan ke dalam plastik. "Bukannya tiap hari lo juga make up, ya?"

"Iya, tapi paling nggak kantor gue nggak mengharuskan karyawannya pakai make up tebal kayak lo gini."

Obrolan mereka terhenti karena kedatangan Diyah dan Embun yang baru saja kembali dari membeli nasi goreng untuk makan malam mereka.

"Baik bener sih lo, Mbun." Wajah Yayin penuh dengan kebahagiaan saat tahu Embun yang membelikan mereka nasi goreng. "Gue doain jodoh lo ganteng nggak ada lawan."

Diyah berdecih. "Manis bener, tuh, mulut."

"Gue ambil piring sama sendok dulu, ya."

Diyah menahan lengan Embun. "Nggak usah, biar Mada sama Yayin aja. Kita, kan, udah jalan cari makan. Biar bocah dua ini yang urus sisanya."

"Perhitungan banget!" ucap Mada dan Yayin bersamaan. Tapi tak urung mereka beranjak juga ke dapur untuk mempersiapkan peralatan makan.

Empat perempuan yang duduk mengitari meja makan nampak sibuk dengan makanan masing-masing. Apalagi Yayin yang sampai belum ganti seragam karena sudah keburu lapar.

"Yin, kerupuk, dong." Diyah menyikut lengan Yayin, meminta bantuan karena stoples kerupuk sulit dijangkau.

Yayin mengulurkan tangan lalu memindahkan stoples mendekat ke Diyah.

"Tengkyu sobatku."

"Dari pada cuma 'tengkyu', gimana kalau telur dadar punya lo buat gue? Dari pada nggak dimakan lebih baik disedekahkan ke gue."

Diyah menepuk tangan Yayin yang sedang bergerak mendekat ke piringnya. "Bukan nggak dimakan tapi belum. Lagian porsi kita, kan, sama. Kalau kurang tinggal goreng sendiri. Telur mentah ada di kulkas."

"Gue trauma goreng telur!"

Seminggu yang lalu saat Yayin sedang menggoreng telur mata sapi, minyak panas muncrat sampai mengenai kening dan tangannya. Walaupun sudah dioles salep tetap saja meninggalkan bekas luka yang sampai sekarang masih tersisa.

"Gue gorengin, ya, Mbak." Dengan baik hati Embun beranjak menuju kulkas. "Mau berapa butir?"

"Dua biar tebal dan mantap!" Yayin kegirangan melihat Embun mau menolongnya menggoreng telur. Kemudian ia menoel lengan Diyah dan berkata, "adik gue itu."

"Jangan mau jadi adiknya Yayin, Mbun," seru Mada setelah lebih dulu menelan nasi yang ada di mulut. "Entar lo bisa dijadiin babu."

Yayin melotot ke arah Mada. "Mana ada! Kalau Embun jadi adik gue, nggak bakal tega gue jadiin babu. Embun kan cantik dan rapuh."

"Rapuuuh!!!" seru Diyah dan Mada meledek Yayin.

"Sirik amat, sih, kalian ini! Pengin jadi adik gue juga?!"

"Ogah!" ujar Mada dengan tegas. "Gue jadi teman lo aja suka darah tinggi gini, gimana kalau jadi saudara. Bisa kena penyakit komplikasi."

Kedatangan Embun menyela kehebohan di meja makan. Ia membawa piring berisi telur dadar yang masih mengepul.

"Makasih adikku tersayang." Yayin menerima telur goreng buatan Embun dengan riang gembira. Ia segera mencicipinya. "Wih! Enak banget!"

"Nggak usah lebay!" Diyah menoyor lengan Yayin. "Itu Embun goreng nya pakai minyak jelantah bekas gue goreng ikan asin tadi pagi."

Mata Yayin langsung membulat besar. Ia menatap horor ke telur dadar yang ada di hadapannya.

***

Waktu menunjukkan pukul setengah dua belas saat Diyah merebahkan diri di samping Embun. Karena besok hari sabtu, tadinya mereka berencana bergadang nonton film. Tapi tidak jadi karena satu persatu dari mereka merasakan kantuk yang tak tertahankan.

"Mbak."

"Hm?" Diyah sudah terlalu lelah untuk sekadar membuka mata.

"Mbak." Embun masih belum menyerah.

"Hmmmm?" Diyah memperpanjang gumamannya. Pertanda dia tidak ingin diganggu. Dia butuh tidur, badannya capek. Hari ini yang harusnya dia bisa pulang tenggo malah molor berjam-jam karena Andra memberikan pekerjaan tambah didetik-detik terakhir jam kerja.

Bekerja di dunia kontraktor memang seperti itu. Bahkan sering kali tidak mengenal tanggal merah. Dihari libur pun harus tetap bersiap kalau-kalau ada panggilan mendadak dari bos. Karena walaupun di kalender angkanya berwarna merah, pekerjaan di lapangan tetap berjalan. Hal itu yang membuat karyawan di kantor juga harus standby.

"Gue suka sama Galil."

Diyah bergerak sedikit. "Iya, gue tahu. Se-Indonesia juga tahu." Ia mulai meracau tidak jelas.

Embun merubah posisinya. Ia kini tidur miring menghadap sang kakak yang matanya terpejam. "Mbak, kasih tahu gue password apartemennya Galil, dong."

"375901 ..." Diyah mengucapkan sederet angka.

"Itu password-nya?" Embun hampir memekik saking senangnya.

"Nomor togel."

"Mbaaaak," Embun mengguncang tubuh Diyah. Tapi hal itu tidak lantas membuat kakaknya bangun. Malahan sekarang Diyah tidak lagi bergerak. Embun pasrah. Diyah sudah masuk ke alam mimpi.

-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang