20 | Balas dendam

6.7K 528 19
                                    

Rumah orang tua Mada sudah ramai sejak subuh. Ada yang sedang mempersiapkan makanan di dapur, sibuk menata riasan, ada juga yang sedang antre di depan kamar mandi. Sedangkan bintang utama hari ini mendapat perlakuan khusus dengan menempati satu kamar paling besar di rumah itu dimana sudah ada kamar mandi pribadi di sana.

Mada mempercayakan Yayin sebagai MUA abal-abal-nya. Walaupun dilabeli 'abal-abal', sebenarnya kemampuan Yayin dalam bidang make up tidak bisa dianggap remeh. Banyak orang yang sudah mengakui bakatnya. Sayangnya Yayin tidak pernah punya keinginan untuk melanjutkan ke arah yang serius.

"Mbak, rambut gue yang belakang udah rapi belum?" Embun menunjukkan hasil karyanya. Rambut panjang miliknya di kucir setengah lalu dijepit dengan hiasan seperti permata. "Gue nggak mau lebih cantik dari Mbak Mada. Masa bintang utama kalah cantik."

Mada berdecih dengan ekspresi meremehkan. "Sorry, ya, gue udah cantik dari sononya. Gue nggak butuh banyak usaha untuk terlihat lebih cantik dari kalian."

"Songong banget, nih, calon manten!" celetuk Yayin.

"Gue mau tunangan, bukan nikah!"

Setelah Diyah merapikan rambut Embun, ia mendekati Mada untuk melihat hasil karya Yayin yang memang tidak perlu diragukan lagi. "Boleh juga lo, Yin. Skill lo makin meningkat. Besok kalau lo nikah, lo make up sendiri, ya. Lumayan ngirit biaya."

"Jangan, deh," tolak Yayin. "Dihari pernikahan, gue mau jadi ratu sehari. Gue mau terima beres aja."

"Mbak!"

Tiga perempuan di dalam kamar terkejut saat suara Galil tiba-tiba menggelegar dari pintu yang terbuka lebar. Laki-laki itu berdiri di ambang pintu dengan handuk kecil di pundaknya.

"Hai, Ganteng. Lo udah mandi belum? Udah jam segini, lho," Yayin mengingatkan. "Kalau kamar mandi di luar masih ramai, mandi di sini aja."

"Gue udah mandi," jawab Galil sambil menunjuk rambutnya yang basah. Lalu ia beralih menatap Diyah. "Mbak, kemeja batik yang semalam kebawa nggak, ya? Kok nggak ada di tas?"

Perlahan Diyah berjalan mendekati Galil. "Udah gue masukin ke tas. Masa nggak ada?"

"Nggak ada."

"Dicari yang bener."

"Udah."

Diyah mengembuskan napas panjang. Sepertinya dia harus turun tangan. Ia berjalan keluar dari kamar, Galil mengikuti di belakang. Diyah sama sekali tidak menyadari perubahan ekspresi pada wajah Embun.

"Ehem!" Mada pura-pura tersedak. "Yin, lipstik gue kurang gonjreng." Mada mengedip-ngedipkan mata di depan cermin.

Yayin paham dengan kode itu. "Iya, ya? Bentar-bentar gue tambahin pakai warna yang lebih fantastik. Hari ini kan lo maint cast-nya."

Saat Yayin mulai memoles bibir Mada dengan lipstik, Mada mengambil kesempatan itu untuk memulai sesi rumpi mereka.

"Kok Diyah sama Galil kayak pasutri?"

Yayin mengangguk. "Sejak kapan mereka sedekat itu? Kok bisa-bisanya Diyah bantu Galil packing baju?"

Mada memberi isyarat dengan matanya supaya Yayin melirik ke Embun yang sedang berdiri dengan wajah cemberut. "Kasihan si Embun. Tapi setelah gue lihat-lihat, Diyah sama Galil lebih cocok."

"Naik kapal yang mana, nih, gue??"

***

Acara berjalan dengan lancar. Para tamu dari pihak laki-laki nampak mulai berbaur dengan keluar dari pihak perempuan. Mereka saling mengobrol dan bercanda. Saat acara makan siang, mereka terlihat makin akrab. Tanggal pernikahan pun telah disepakati yaitu empat bulan dari sekarang.

Sepanjang acara Embun terus menempel di sisi Galil. Mereka sudah seperti pasangan tak terpisahkan. Diyah sendiri nampak tak acuh dengan hal itu. Ia memilih duduk bersama Yayin dan sepupu Mada yang lain. Sejak kejadian tadi pagi, Embun terus mengirim sinyal perang padanya.

"Yin," panggil Mada yang kini jari manisnya sudah tidak kosong lagi. "Lo masih ingat nggak waktu lo ngerusakin panci kesayangan gue? Lo kan bilang mau mengabulkan satu permintaan gue."

Yayin menyilangkan kakinya lalu mengangguk.

"Gue mau nagih janji lo sekarang."

"Boleh-boleh." Yayin sama sekali tidak curiga padahal Mada sudah memasang tampang iblisnya. "Lo mau minta apa?"

Mada tersenyum licik. "Gampang, kok. Lo cukup temenin Eyang gue. Kasihan Eyang nggak ada teman ngobrol."

Mereka bertiga menatap ke arah yang sama. Di sana ada seorang wanita paruh baya berambut putih dan berkacamata sedang duduk di sofa panjang seorang diri

"Itu doang?" Yayin langsung berdiri dari kursi. "Itu, mah, gampang." Tanpa ragu ia berjalan mendekati Eyangnya Mada. Ia sempat melambaikan tangan pada Diyah sebelum benar-benar pergi.

Diyah keheranan. "Bisa-bisanya dia langsung cabut. Nggak curiga sama sekali."

Mada terkekeh. "Biarin aja. Gue emang udah ada rencana ngerjain Yayin. Gue masih kesel karena panci kesayangan gue rusak."

"Rambut lo ada yang berantakan." Diyah berdiri lalu meminta Mada untuk duduk di kursi. "Sebentar gue benerin."

Belum selesai Diyah membantu Mada membenahi tatanan rambut, Galil datang menginterupsi. Laki-laki itu meminta Diyah melihat ke kerah kemeja batiknya. "Mbak, tolong gue bentar." Ia nampak tidak nyaman dengan kerah bagian belakang.

"Labelnya belum digunting?" tebak Diyah.

"Kemarin belum sempat digunting. Tadi pagi juga lupa."

Diyah hendak maju mendekat saat tiba-tiba Embun datang. "Minta tolong Embun aja. Gue lagi ngerapihin rambutnya Mada."

"Baju lo kenapa?" Dengan sigap Embun mendekat dengan tangan yang terulur menuju kerah kemeja Galil. Tapi detik itu juga Galil menjauh sampai membuat Embun terkejut. "Sini biar gue lihat dulu."

Galil terlihat jelas keberatan dengan keinginan Embun untuk membantunya. Ia terus-terusan melirik Diyah, meminta pertolongan. Tapi perempuan itu sama sekali tidak melihatnya.

Tidak lama kemudian Lena–sepupu Mada– datang. Perempuan yang tingginya sama persis dengan Embun itu tersenyum ramah pada mereka. "Mbak Mada, ini hape lo."

Sejak acara dimulai, Mada mempercayakan ponselnya pada Lena untuk mengabadikan momen-momen berharga.

"Bagus-bagus nggak fotonya?" tanya Mada sambil menerima ponselnya. "Gue udah nggak sabar mau upload."

"Jangan meremehkan kemampuan gue, Mbak." Lena menyombongkan diri. Sementara Mada mulai mengotak-atik benda di tangannya, fokus Lena mengarah ke Galil yang berdiri di sebelah Diyah. "Mbak Diyah, suami lo ganteng banget," kata Lena. "Punya adik nggak? Kalau ada kenalin ke gue, dong."

Diyah mengerjabkan mata. Dia bingung mendapat pertanyaan itu. "Suami? Siapa suami gue?"

"Lho, Masnya it–"

"Gue nggak punya adik," sambar Galil secepat kilat. "Ada kakak tapi perempuan."

Diyah menoleh ke samping. Ia kesal karena Galil tidak menjelaskan lebih dulu kesalahpahaman tentang 'suami'. Malah langsung menjawab pertanyaan Lena dengan santai. Galil sama sekali tidak menyadari kalau ada Embun di sampingnya yang sedang berdiri dengan tangan mengepal.

Kepala Diyah berdeyut. Kenapa sampai ada yang mengira kalau Galil itu suaminya? Apa mereka terlihat seperti itu? Padahal Diyah sudah susah payah menjaga jarak diantara mereka.

-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang