26 | Kangen kamu

8.2K 525 24
                                    


Diyah membawa Galil masuk ke unit. Mereka berdua sedang menyantap ayam bakar yang dibawa Galil. Beberapa saat yang lalu Geya pamit katanya mau membeli sesuatu, tapi Diyah yakin Geya sengaja memberikan waktu untuk mereka berdua menyelesaikan semua masalah. Dan yang pertama kali harus diselesaikan adalah rasa lapar di perut Diyah yang sudah tak tertahankan lagi.

Mereka duduk berhadapan di meja persegi yang hanya muat untuk dua orang. Maklum, penghuni asli unit itu memang hanya dua orang. belum lagi yang satunya jarang pulang.

Seperti biasa Galil selesai lebih dulu. Laki-laki itu dengan cekatan membereskan piringnya lalu menuangkan segelas air untuk Diyah.

Tak berselang lama Diyah pun selesai. Ia menenggak air sampai tandas sebelum mencuci tangan di wastafel dan kembali duduk. Ia merasa tidak nyaman karena sejak tadi Galil terus memperhatikan setiap gerakan yang ia lakukan.

"Kenapa?" tanya Diyah pada Galil yang masih enggan mengalihkan pandangan. Ia jadi was-was, siapa tahu kan eyeliner-nya luntur.

"Mbak, lo pasti nggak bakal percaya kalau gue bilang 'gue kangen sama lo'."

Tanpa terduga Diyah mengangguk. "Percaya."

Punggung Galil menegak. "Gue kangen sama lo," Galil makin memperjelas.

"Iya, gue tahu. Kelihatan, kok."

"Mbak, gue serius."

"Lil," panggil Diyah. Matanya menatap lurus ke wajah laki-laki di seberang meja.

"Hm?"

"Lo pasti nggak bakal percaya kalau gue bilang 'gue suka sama lo'."

Spontan Galil berdiri. Kursi yang ia duduki sampai jatuh dan mengeluarkan bunyi cukup nyaring. Mata Gali mengerjab, ia menahan napas untuk beberapa detik. "Mbak ... lo kenapa?"

Diyah melipat kedua tangan di depan dada. "Lo bingung, kan? Gue juga."

"Gue nggak bingung!" seru Galil dengan nada tinggi. "Lo nggak boleh tarik omongan lo yang tadi. Nggak boleh!" Ia tersenyum lebar. Kakinya bergerak mendekat ke Diyah, tapi perempuan itu mengangkat satu tangan. Galil langsung diam di tempat. "Kenapa lagi?"

Diyah mengerutkan kening. "Lo mau ngapain?"

"Mbak, ini saat yang tepat untuk kita berpelukan."

"Duduk," Diyah menunjuk kursi yang tadi diduduki Galil dengan dagunya. "Pelukannya nanti aja, ada yang lebih penting dari itu. Masalah kita belum selesai."

Dengan wajah kecewa Galil membenahi kursi lalu duduk di sana.

"Embun gimana?"

"Mbak." Ekspresi Galil menunjukkan keberatan saat Diyah menyebut nama itu. "Obrolan kita selalu kacau tiap kali ada Embun di dalamnya. Ini gue lagi senang karena akhirnya perasaan kita sama. Tolong jangan menghancurkan mood gue."

Diyah menghela napas. Yang dikatakan Galil ada benarnya. Tiap kali ada 'Embun' diantara mereka, maka yang terjadi selanjutkan adalah pertengkaran. Tapi Diyah tidak bisa terus-terusan mengelak. Kalau ia dan Galil mau melangkah bersama, mau tidak mau akan selalu ada Embun diantara mereka.

"Yaudah, oke kita bahas Embun. Tapi janji pengakuan lo yang tadi jangan ditarik lagi!"

Diyah dan Galil membenahi posisi duduk. Mereka siap membicarakan hal-hal penting dan rumit yang selama ini terus membelenggu. Satu persatu benang kusut harus diurai kalau mereka mau memulai sesuatu yang baru.

"Dulu tiap kali gue tanya soal Mbak Diyah, Embun selalu bilang lo punya pacar. Makanya gue nggak jadi pedekate." Galil mengingat kembali saat ia masih mengenakan seragam SMA. Saat itulah ia mulai menyukai Diyah. "Tapi gue nggak langsung nyerah."

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang