13 | Self Reward

7K 536 20
                                    

Tanggal gajian identik dengan self reward. Tidak terkecuali untuk Geya dan Diyah yang hari ini memutuskan makan siang di mall dengan berbekal prinsip self reward sebulan sekali. Biasanya Aswin ikut aksi mereka, tapi karena sedang giat-giatnya mengumpulkan uang untuk sang istri, laki-laki itu memutuskan untuk absen.

Sebelum menuju tempat makan yang sudah jadi incaran. Mereka mampir ke toko perhiasaan langganan Geya. Perempuan itu suka mengoleksi cincin dengan bentuk yang simple tapi masih ada kesan mewah. Demi hobinya itu, Geya rela menahan keinginannya untuk beli barang-barang lain seperti baju, tas, atau sepatu. Diyah pun salut dengan kegigihan Geya untuk membeli apa yang dia mau. Mengingat gaji mereka tidak sebesar orang-orang yang kerja di kantor besar.

Kata Geya, cincin-cincin itu bukan sekadar pajangan di kamar atau cuma dipakai saat ada acara. Tapi bisa juga untuk investasi. Tidak jarang Geya merelakan beberapa cincin miliknya yang ditawar mahal oleh teman-temannya. Geya memang punya selera yang bagus soal cincin.

"Yang ini bagus nggak?" Geya menunjuk sebuah cincin yang ada di dalam etalase.

Diyah melongok. "Yang paling atas itu?" Ia menatap cincin dengan taburan permata di sepanjang sisinya.

Geya mengangguk. "Mbak, saya mau lihat yang ini," pintanya kepada pelayan toko yang sejak tadi berdiri di balik etalase. "Cakep banget!" seru Geya penuh semangat saat cincin idamannya sudah terpasang dijari manis.

"Menurut gue lebih bagus yang sebelahnya." Saat Diyah mengatakan itu, pelayan toko langsung mengambilkan cincin yang sejak tadi ia pandangi. "Makasih, Mbak." Ia menerima cincin itu dan ikut-ikutan mencoba seperti Geya. Cincin berwarna rosegold dengan bentuk seperti dua daun kecil yang seakan menangkup jari manisnya.

"Cocok banget di tangan lo. Beli-beli!" Geya menyemangati.

Diyah melirik Geya dengan tampang malas. "Kita beda selera, Sister. Gue belum ikhlas kalau duit gue untuk beli beginian." Ia terus memandangi cincin itu.

"Suka yang itu?"

Sebuah suara dari sisi kirinya membuat Diyah terperanjat lalu menggeser tubuhnya mepet ke Geya. "Lho? Galil?"

Galil terlihat santai padahal Diyah cukup terkejut dengan pertemuan mereka. Laki-laki itu meraih tangan kiri Diyah yang terpasangi cincin. "Bagus. Mau yang ini?"

Pertanyaan Galil sudah seperti seorang laki-laki yang sedang menemani pasangannya mencari cincin untuk pernikahan mereka. Diyah sampai merinding.

"Gue cuma lihat-lihat," kata Diyah sambil mencopot cincin itu dan dikembalikan ke pelayan toko. "Oya, sebentar." Ia menepuk-nepuk lengan Geya. "Geya, kenalin ini Galil."

"Eh, hai?" sapa Geya. "Gue Geya. Teman kantornya Diyah."

Geya dan Galil saling berjabat tangan.

"Gue Galil, Mbak."

"Nggak usah pakai 'mbak', lah. Santai aja sama gue." Geya mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. "Kalian ...?" Geya menatap Diyah dan Galil bergantian. Seakan meminta penjelasan.

"Galil ini temannya Embun."

Entah kenapa Geya tidak puas dengan jawaban dari Diyah. "Oh, temannya Embun."

"Lo sendirian?"

Galil menoleh sebentar ke belakang. "Sama teman kantor, tapi mereka udah jalan duluan," jelas Galil. "Mbak udah makan siang?"

"Belum," jawab Diyah. "Biasalah cewek-cewek suka nyangkut di beberapa toko dulu sebelum ke tujuan utama."

"Emangnya masih mau mampir ke toko mana lagi?"

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang