11 | Aduh!

6.9K 487 2
                                    

Mada menatap nanar panci kesayangan yang pantatnya sudah bolong dan gosong. Benda itu sudah tidak bisa digunakan lagi. Ingin rasanya ia mencak-mencak pada Yayin tapi kelelahan sehabis bekerja membuatnya tidak punya banyak tenaga.

"Mada ..." ucap Yayin penuh rasa bersalah. Saking asyiknya ngobrol dengan Rifan, dia sampai lupa sedang merebus air.

Mada menatap tajam pada Yayin. "Panci warisan Eyang gue ini, Yin!"

Yayin lantas berdiri lalu mendekati Mada yang duduk di seberang meja makan. "Maaf ... besok gue ganti. Atau kalau perlu malam ini juga gue cari panci yang sama persis." Ia coba meyakinkan.

"Panci yang sama pasti ada tapi kenangannya itu lho yang berharga!"

Dengan muka memelas, tangan Yayin saling bertaut. "Gue beneran nggak sengaja."

"Gue nggak mau tahu pokoknya lo harus ganti rugi!"

"Pastinya!" seru Yayin bersungguh-sungguh. "Lo tinggal bilang mau apa, gue jabanin!"

Mada tersenyum licik. "Serius? Awas ya kalau nanti lo banyak alasan."

"Nggak bakal!" Yayin masih terus meyakinkan Mada. "Jadi lo mau apa?"

"Nggak sekarang."

Mata Yayin mengerjab. "Nggak sekarang? Maksudnya?"

Mada beranjak dari kursi. "Gue simpan dulu untuk waktu yang tepat," katanya lalu berjalan pergi dengan ekspresi misterius.

Setelah kepergian Mada, Yayin beralih mendekati Diyah yang sejak tadi ada di sana tapi hanya jadi penonton. Diyah lebih memilih menyibukkan diri dengan seporsi batagor pedas.

"Mada nggak bakal minta gue jual ginjal, kan?"

"Bisa jadi." Diyah mengangguk-anggukkan kepala. "Mada, kan, mau nikah, ginjal lo bisa untuk modal pesta besar."

Wajah Yayin berubah masam. "Perkara panci tua masa ginjal gue sampai harus dikorbankan."

Diyah selesai menghabiskan sepiring batagor kesukaannya. Ia menggeser piring kosong itu ke tengah meja lalu lanjut menyambar buah jeruk yang tadi Mada beli dari tukang buah dekat kantornya.

"Sampai lupa gue!" seru Yayin tiba-tiba. "Gara-gara panci, nih."

"Apa?" Diyah bingung karena Yayin makin mendekat padanya. "Kalau mau cerita, lo duduk, deh. Pusing gue lihat lo berdiri gitu."

Yayin setuju. Ia menarik satu kursi lalu duduk di sana dengan nyaman. "Sebentar lagi Rifan ulang tahun. Menurut lo kasih kado apa, ya? Yang berkesan gitu."

"Udah seumuran kita gini, emangnya masih mau dikasih kado ulang tahun?" Setahu Diyah, umur Rifan beberapa tahun di atas mereka. Berarti laki-laki itu juga sudah kepala tiga. Biasanya makin dewasa seseorang, hari kelahiran tidak lagi jadi sesuatu yang paling ditunggu.

"Kita nggak seumuran! Gue masih dua puluh sembilan," Yayin berkilah.

Yang dikatakan Yayin memang tidak salah. Diantara mereka bertiga, Yayin lebih muda satu tahun. Diyah dan Mada sudah resmi memasuki kepala tiga sejak akhir tahun kemarin.

"Dua bulan lagi lo resmi tiga puluh. Lupa?"

"Dua bulan masih lama!" Yayin bersikeras. "Udah jangan bahas umur. Ini gimana soal kadonya Rifan?"

Diyah membelah jeruk yang sudah selesai ia kupas kulitnya. Sebagian ia berikan pada Yayin. "Harusnya lo tanya ke teman cowok. Sesama cowok pasti lebih ngerti soal ginian."

"Kalau gitu tolong tanyain ke Galil, dong."

"Nggak!" tolak Diyah. Entah kenapa dia sudah tidak mau berurusan dengan Galil. Kalau bukan sesuatu yang mendesak lebih baik pertemuan atau komunikasi mereka ditiadakan seperti sebelumnya.

Yayin merengek. "Jahat banget, siiih."

"Lo tanya langsung aja ke Galil."

"Nggak punya nomornya."

Diyah menyambar ponselnya untuk mencari nomor Galil. Tapi setelah dipikir-pikir sepertinya dia butuh ijin dari lelaki itu. Jaman sekarang nomor ponsel sudah jadi sesuatu yang sangat pribadi.

"Yah! Diyah! Galil, tuh! Buruan angkat!!" Yayin heboh sendiri saat ponsel di tangan Diyah berdering dan nama laki-laki yang tadi mereka bicarakan muncul di sana. "Buruan! Keburu mati!!"

Setengah hati Diyah menjawab panggilan itu. "Halo?" Diyah mengklik icon mic supaya Yayin bisa mendengar obrolan mereka.

"Mbak, dimana?"

"Di hatimu," celoteh Yayin.

Diyah melotot dan hendak memukul Yayin tapi Galil kembali bicara, "ada Mbak Yayin, ya?"

Wajah Yayin langsung ceria. "Iya. Maaf gue ikutan nimbrung."

Tidak ingin Yayin membicarakan hal-hal yang lebih membagongkan, Diyah menonaktifkan lousdpacker lalu menempelkan benda itu ke telinga. Ia mengabaikan protes dari Yayin.

"Gimana, Lil?"

"Nggak ada apa-apa. Pengin ngobrol aja."

Yayin menarik-narik lengan Diyah. "Tanyain yang tadi," bisiknya.

"Tanya sendiri," ucap Diyah sambil menyodorkan ponselnya ke Yayin. Yayin mengambil alih benda itu lalu mulai menanyakan soal kado untuk pujaan hatinya. Sedangkan Diyah angkat kaki menuju kamarnya. Ia baru ingat kalau ada pekerjaan yang dibawa pulang.

Sepuluh menit setelah masuk kamar, Diyah mendapati Yayin menyusulnya dan mengembalikkan ponsel sambil berkata, "Galil mau ngomong."

Ragu-ragu Diyah menerima benda itu. "Ya, gimana, Lil?"

"Mbak lagi sibuk?"

Diyah memperhatikan beberapa berkas yang sekarang menyebar di tempat tidurnya. "Cuma lagi ngecek kerjaan," jawabnya. "Gimana tadi ngobrol sama Yayin? Ngerepotin nggak dia?"

"Nggak, kok." Terdengar jelas suara cekikan dari Galil. "Mbak Yayin semangat banget mau kasih kado ke pacarnya."

"Bukan pacar masih gebetan." Diyah memberikan bocoran.

"Oh, masih gebetan."

Tanpa sengaja tangan Diyah menyenggol lembaran HVS yang ada di tepi kasur sampai membuat kertas-kertas itu berjatuhan. "Yaah, jatuh." Ia bergegas turun dari kasur. Disaat bersamaan Diyah merasakan kakinya tersangkut selimut yang entah sejak kapan sudah membentang tidak beraturan di tengah kasur. Akhirnya Diyah mendarat dengan tidak mulus di lantai. "Aduh!!" pekiknya.

"Mbak? Halo! Mbak kenapa??"

Ponsel Diyah ikutan jatuh membentur lantai lalu mental ke bawah tempat tidur. Untungnya tidak mental terlalu jauh, hanya masuk sedikit. Dengan mudahnya Diyah meraih benda itu.

"Maaf, gue habis terjun payung," celoteh Diyah asal. Ia meringis merasakan sakit pada pergelangan kakinya. "Udah dulu, ya, Lil. Gue harus beresin berkas."

"Lo beneran nggak pa-pa, Mbak?" Galil terdengar cemas. "Tadi gue dengar kayak ada yang jatuh."

Diyah mengurut kaki kirinya, berharap bisa mengurangi rasa nyeri. "Tadi itu hape gue jatuh ke kolong." Perlahan Diyah berdiri dan membiarkan kertas berhamburan di lantai. Dia tidak punya tenaga untuk mengumpulkan itu semua karena kakinya sedang sakit.

"Lo kenapa?" tanya Mada yang tahu-tahu kepalanya menyembul dari balik pintu. Ia kemudian masuk dan memunguti kertas di lantai. "Tumben banget kamar lo kayak kapal pecah."

"Tadi gue jatuh," jawab Diyah setelah memastikan panggilan telepon dari Galil sudah berakhir. "Sakit, nih, kaki gue. Lo punya minyak urut?"

Mada merapikan berkas milik Diyah ke dalam map. "Ada minyak urut dari Eyang, entar gue ambilin. Ini taruh dimana?"

Diyah mengambil map biru dari tangan Mada. "Gue belum selesai baca."

-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang