21 | Women

6.3K 479 8
                                    

Yayin kembali ke kamar dengan dandanan yang sudah acakkadut. Kebaya yang ia kenakan pun sudah tak serapi tadi siang.

"Lo dari mana?" tanya Diyah yang sedang merapikan baju-baju ke dalam tas. Sore ini mereka akan kembali ke Jakarta. "Buruan siap-siap."

Meskipun besok masih hari minggu, tapi mereka harus kembali ke Jakarta hari ini. Diyah dan yang lain memang libur kerja, tapi tidak dengan Yayin. Jatah cutinya hanya untuk hari ini.

Dengan kesal Yayin menjatuhkan pantatnya ke kasur. "Gue dikerjain sama Mada!"

"Gimana-gimana? Coba cerita dulu. Kok kayaknya seru."

"Eyangnya Mada kalau cerita nggak putus-putus," Yayin memijit keningnya. "Berjam-jam gue dengerin Eyang cerita itu-itu aja. Kayaknya karena udah pikun, jadi ceritanya diulang sampai beberapa kali."

Diyah tertawa mendengar hal itu. Ternyata Mada benar-benar berhasil membalas dendam. "Lo kenapa nggak pura-pura pamit ke toilet?"

"Nggak bisa! Susah!" Yayin berapi-api. "Sekalinya cerita, Eyang susah disela. Mada, nih, kalau balas dendam nggak kira-kira! Perkara panci bolong, setengah hari gue harus duduk dengerin Eyang cerita. Pantat gue panas. Mana gue belum packing."

"Tenang gue bantuin." Diyah kasihan melihat Yayin yang nampak kelelahan setelah meladeni Eyang berjam-jam. "Nanti Mada ikut balik bareng kita. Jadi kita semua naik mobilnya Galil."

Yayin menarik tasnya dari lantai lalu diletakkan ke atas tempat tidur. "Omong-omong, lo lagi perang dingin, ya, sama Embun? Tadi waktu gue masuk ke sini, gue ketemu Embun di depan. Mukanya jutek banget kayak mau makan orang."

"Pusing gue."

"Soal Galil?"

Diyah mengangguk. "Padahal gue nggak ada apa-apa sama Galil, tapi Embun curiga terus."

"Nggak ada apa-apa?" Yayin mengulangi kata-kata Diyah. "Lo sadar nggak, sih, semenjak kalian berdua datang ke sini naik mobil, kalian kelihatan beda banget. Kayak pasutri. Masa lo nggak nyadar?"

"Hah? Gimana maksudnya?"

"Kemana-mana Galil ngintilin elo. Butuh sesuatu bilangnya ke elo," Yayin menjabarkan satu persatu hal aneh yang sudah ia rasakan sejak semalam. "Dan lo juga, kenapa lo jadi banyak tahu tentang Galil? Lo sampai tahu isi tasnya."

"Gue tahu isi tasnya, ya, karena gue bantu dia packing."

Yayin tiba-tiba berdiri. "Itu dia! Kenapa juga lo bisa bantu dia packing? Berarti lo sempat ke apartemennya? Itu! Maksud gue itu! Masa lo belum sadar juga?!"

"Tapi gue nggak ada maksud apa-apa. Gue cuma bantu Galil."

Yayin menepuk tangannya sekali. Lalu telapak tangannya saling menggenggam dengan erat. Ia kesal pada Diyah yang terus saja menyangkal. "Diyah, sobat gue yang paling aduhay, dengerin gue." Ia kembali duduk di tepi kasur. "Galil itu sedikit demi sedikit membawa lo ke dunianya. Dia kasih kebebasan ke lo untuk datang ke apartemen, dia kasih tahu lo tentang hal-hal kecil yang buat dia nggak nyaman, dan dia juga pengin menunjukkan kalau dia butuh bantuan elo. Dia butuh campur tangan lo bukan cuma untuk hal yang besar, tapi juga hal-hal remeh, kegiatan-kegiatan kecil dalam hidup dia."

"Berarti gue harus makin menjauh dari Galil."

"Nggak gitu intinya Women!!!" Kepala Yayin kembali berdenyut. Kalau tadi gara-gara Eyang, sekarang disebabkan oleh kebodohan temannya sendiri. "Embun suka Galil, tapi Galil jelas-jelas suka sama lo. Nah, sekarang keputusan ada di elo. Lo mau begimane??"

"Menjauh dari Galil."

"Lo yakin?"

Diyah mengangguk.

"Seyakin itu?" Yayin tidak percaya. "Yang gue lihat akhir-akhir ini lo mulai terbuka sama Galil. Lo nggak lagi keberatan kalau tiba-tiba dia ikut nimbrung sama kita-kita. Bukannya itu pertanda kalau lo mulai ada rasa sama dia?"

"Gue sama Galil ... kayak teman aja."

"Haduh!" Yayin menepuk jidatnya. "Lo itu kelihatan nyaman sama Galil. Dan gue tahu banget lo bukan tipe orang yang bisa senyaman itu sama orang lain, bahkan sama teman, apalagi lawan jenis."

"Gue makin pusing."

"Sama! Gue juga!" Yayin sudah tidak mood untuk merapikan pakaiannya ke dalam tas. Ia memilih rebahan di kasur yang empuk. "Gue jadi kangen bebeb Rifan."

***

Mobil Galil diisi lima orang. Embun duduk di depan bersama Galil. Sementara Diyah, Mada, dan Yayin di kursi penumpang. Sepanjang perjalanan Embun memasang wajah kesal. Saat ditanya kenapa, cuma dijawab singkat, lagi capek. Padahal seisi mobil juga tahu penyebab sebenarnya kenapa dia diam seribu bahasa.

Kalau di bagian depan penuh dengan kesunyian. Di kursi tengah ada tiga perempuan yang sedang heboh sendiri membicarakan cincin pertunangan Mada yang memiliki batu permata besar dibagian tengahnya.

"Gede banget ini," celetuk Yayin sambil memegangi tangan Mada. "Kalau untuk nonjok orang, dijamin benjol."

Diyah tidak mau kalah. Ia mengambil alih tangan Mada, "Lo nggak takut pakai cincin kayak gini? Ini mencolok banget. Gue takutnya lo jadi incaran pencopet."

"Itu juga yang gue pikirin," timpal Mada. "Sebenernya pilihan cincin gue bukan yang ini, gue mau yang biasa aja. Tapi calon suami bilang 'sekalian aja'." Ia meringis malu-malu. "Ya, gue bisa apa?"

Yayin mendecakkan lidah. "Pura-pura terpaksa padahal doyan juga."

"Besok lo minta yang kayak gini juga kalau Rifan mau ngelamar. Biar kita samaan."

"Ogah!" Yayin menolak mentah-mentah usulan Mada. "Gue cari cincin yang biasa aja. Mendingan yang permatanya kecil-kecil tapi banyak."

Mada cemberut. "Lo gimana?" ia menyikut Diyah.

"Apa?"

"Lo mau nggak kalau cincin tunangannya kayak gini?"

"Gue mau tunangan sama siapa?" Diyah balik menyikut lengan Mada. "Lagian bener kata Yayin, pilih yang biasa aja. Kalau segede ini, berat juga mau dibawa kemana-mana."

Mada menangkup cincin yang ada di jari manisnya dengan tangan yang lain. "Kalian nggak asik!" Kemudian ia beralih pada Galil yang sejak tadi tenang-tenang saja di depan sana. "Lo gimana, Lil?"

Galil melirik ke kaca spion tengah. "Gue kenapa, Mbak?"

"Menurut lo bagus nggak kalau cincin tunangan bentuknya kayak gini?" Mada menunjukkan tangannya pada Galil. Ia sampai mencondongkan tubuhnya.

"Hm ... gue terserah aja, sih, sebenernya."

"Terserah gimana?" Yayin ikut nimbrung.

"Terserah pasangan gue, dia mau yang gimana." Galil curi pandangan ke kursi belakang melalui kaca spion. Ia ingin melihat ekspresi Diyah. "Tapi kayaknya ... dia nggak bakal suka."

Mada menyerah mencari dukungan.

"Cincin lo keren, kok," kata Diyah setelah melihat Mada agak kecewa. "Selera orang kan beda-beda. Gue sama Yayin nggak bilang itu jelek, kita cuma beda selera."

Wajah Mada kembali ceria. Ia puas dengan apa yang baru saja Diyah katakan. Hatinya kembali adem. "Eh, Mbun, lo tidur? Kok dari tadi diem aja?"

Sejak tadi memang sudah tidak ada pergerakan dari Embun. Sudah tidak ada suara, gerakan pun nihil. Membuat mereka semua sedikit khawatir.

"Embun udah tidur, Mbak," jawab Galil setelah memastikan mata Embun tertutup dan napasnya nampak teratur.

-Bersambung-

[ Mohon kritik dan saran ]

| Support author dg Vote |

PERSISTEN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang