10 : Feeling

350 45 45
                                    

Mata coklat pria itu memandang kosong nisan di hadapannya, tangannya lembut mengusap batu nisan. Dia sebaik mungkin tersenyum walau getir, lelaki di sampingnya berdiri memegang payung, menjaga mereka tetap kering diantara rintikan hujan.

Hawa begitu dingin dan genangan air berserakan tak menentu, langit bahkan menangis semakin deras. Namun, tak menimbulkan niat pulang pada benaknya. Justru penyesalan yang semakin menelannya, juga kerinduan tiada akhir.

Dadanya sesak, perih. "Maaf ...." Hanya itu yang mampu dia ucapkan dari bibirnya, bersamaan dengan secuil liquid cair membasahi pipinya. Lagi-lagi, penyesalan yang memeluknya.

"Sudahlah, Pak. Penyesalan tidak ada gunanya, itu hanya akan membuatnya tak tenang di sana."

Pria itu menunduk sedalam mungkin, mengembuskan napas dengan berat. Ia berdiri perlahan-lahan. "Baiklah, ayo. Banyak pekerjaan yang harus kuurus." Kakinya melangkah menjauh meski berat, kakinya seakan-akan terantai. Mereka meninggalkan pemakaman, membiarkan gundukan tanah itu basah oleh air mata sang langit siang ini.

Ia juga ingin meninggalkan, membuang penyesalan ini bersama air yang jatuh ke Bumi, tapi kenapa ... kenapa begitu berat, Ya Allah?

--

Kling, Kling, Kling. Mbak Tian mengaduk teh dalam gelas, menimbulkan denting sendok yang beradu dengan kaca.

Meski sedang sibuk mengaduk teh, pikiran wanita itu berkelana entah ke mana. Perasaannya begitu buruk setelah meletakkan nampan berisi makanan di dekat pintu kamar Taufan. Matanya entah menangkap apa, tak menyiratkan apapun.

Ia tak bisa mengalihkan isi kepalanya dari Taufan, seorang pelukis yang kisahnya begitu pilu, yang begitu menyayat diri, yang sepotong cerita dalam lukisannya pun mampu membuat air mata membanjiri wajah rentanya.

Kesepian yang ia rasa pada kamar Taufan tadi begitu berbeda, bukan kesepian yang kemarin, bukan sesak beberapa hari lalu. Rasanya lebih mencekam, sesuatu seakan menariknya dalam ketakutan dan kegelapan, perasaan ingin berhenti, menyerah, dan tenggelam dalam ilusi hampa. Seakan mampu membunuh jiwanya bila ia terlalu lama di sana.

PYAR!

Manik biru miliknya menciut, bibirnya reflek mengucap istigfar, tanpa ia sengaja gelasnya jatuh, pecah. Mbak Tian gelagapan sebelum berjalan dengan hati-hati, mengambil sapu dan pengki. Lalu, membereskan kekacauan yang ia buat.

Ya Allah ... Taufan ....

Perasaannya semakin buruk. Apa yang Taufan lakukan di kamarnya? Dia tidak apa-apa? Apa Taufan sudah mengambil makan siangnya? Apa Taufan tidur nyenyak?

Perempuan itu lagi-lagi dibuat terkejut saat pecahan kaca menembus kulitnya cukup dalam, menimbulkan luka yang mengeluarkan darah. Dalam benaknya, Mbak Tian tak henti-henti berzikir, kepalanya menolak beristirahat memikirkan Taufan. Firasatnya semakin buruk, sangat.

BRUK!

Sekian kali Mbak Tian dikejutkan, kali ini dengan suara dari lantai atas, dari kamar Taufan. Seperti ... suara kayu? Apa itu meja? Atau kursi?

Kemudian, langkah kaki Mbak Tian menggema di rumah bertingkat itu, perempuan paruh baya itu benar-benar ketakutan sekarang. Ia sempat tersandung dan hampir terguling di tangga, tapi ia tetap berlari menuju kamar Taufan, khawatir.

Warna Mimpi [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang