27 Juni, Kamis
Semua terjadi di luar kendali. Semua penyesalan yang telah lalu, seolah tak cukup mencabik-cabiknya dalam lara. Seakan tak cukup baginya sesal itu memeluknya.
Semua terulang lagi, kali ini dengan sesal yang lebih perih, kali ini dengan akibat yang lebih fatal. Kini, dia kembali lagi, kembali melamun dalam sesal yang menenggelamkan.
Sial.
Berdecak, ia menatap makanan di hadapannya tanpa nafsu. Mata coklat itu beralih melirik ke jam tangannya, memperhatikan jarum pendek mengarah pada angka delapan. Ah, dia harus segera menjemput putranya.
Amato bangkit, berdiri dan melangkah keluar dari cafe. Semoga Taufan sudah mau bertemu dengannya. Ya, semoga.
--
"Terimakasih atas bantuannya sebulan terakhir, Dokter." Taufan tersenyum seceria yang ia mampu, memancing senyum yang ikut merekah pada lawan bicaranya.
"Sama-sama, itu memang tugas saya, Taufan. Lagipula, saya masih harus memantau kamu untuk beberapa bulan ke depan sampai kamu benar-benar pulih," ujarnya ditutup kekehan kecil. Ia membantu Taufan membereskan beberapa barang-barang sembari menjelaskan tentang konseling rutin yang akan dilalui Taufan sampai sembuh.
Namanya Yanaari, salah satu psikolog di Rumah Sakit Baswara yang menangani Taufan sebulan terakhir bersama rekan psikiaternya; Mas Mawais - atau juga biasa dipanggil MaMas. Namun, selain Mas Mawais, ada beberapa perawat lain yang membantunya.
Barang Taufan yang sejujurnya hanya terdiri dari kanvas dan peralatan lukis selesai dibereskan. Yanaari meletakkan tas ransel itu di samping ranjang, melirik sekilas pada Taufan lantas tersenyum tipis. "Sedih?"
Pertanyaan Yanaari sontak mengacaukan lamunan Taufan yang ia bangun sedari tadi, Taufan hanya balas tersenyum canggung. Lalu, menggeleng kecil. "Tidak, Dok."
"Kamu mencoba membohongi psikolog, Taufan. Saya tau kamu sedih ...." Yanaari mengambil jeda, melirik langit cerah di balik jendela berjeruji. "Tentu saja sedih saat kamu dirawat satu bulan penuh di sini, tapi seolah tak ada yang peduli. Tak ada yang menjengukmu, bahkan sekedar bertanya kabar. Begitu, bukan?"
Taufan tertawa. "Astaga, Dokter. Anda memang benar-benar ...." Meski bising suaranya membawa keceriaan, tetapi matanya tetap menyiratkan duka. Memang benar. Satu bulan terakhir Amato atau siapapun, tak ada yang menjenguknya, bahkan sekedar bertanya kabar lewat telepon. Katanya, sih, Amato sibuk mengurus klien di luar kota.
"Taufan, ada banyak kejutan menantimu." Tanpa bisa ditebak, lagi-lagi Yanaari berceletuk.
"Eh, apa?"
"Kamu akan tau nanti."
Lantas, Yanaari meninggalkan Taufan yang berteman tanya dalam ruang itu.
--
Sekarang Taufan tau.
Tau apa maksud Yanaari dengan 'kejutan'.
Bukan. Ini sih bukan kejutan lagi, ini harus dimasukkan dalam list tujuh keajaiban dunia! Ini benar-benar tidak masuk akal!
Taufan kini tengah duduk, mengamati dari kaca mobil bangunan-bangunan yang dilaluinya. Masih termenung dan memproses apa yang tengah berlaku.
Taufan kira, yang menjemput dirinya itu harusnya Rio. Bukan ayah- ralat, Amato. Taufan sampai berkedip lima puluh kali untuk memastikan pengelihatannya, takut-takut dia berharap terlalu tinggi sampai berhalusinasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Mimpi [OG]
Fanfiction"Apa gue nggak layak merjuangin mimpi gue?" ------ Orang-orang selalu bilang, mimpi Taufan itu sampah, tapi Taufan percaya, dia bisa, selama mereka ada. Walaupun melihat, selalu membuatnya jengah. Meski tiap membuka kelopak mata, kelabu yang menyamb...