Tut ... tut ... tut ....
Suara monitor menjadi latar diantara ketegangan yang mengisi. Mbak Tian duduk di samping Taufan yang kini masih tak sadarkan diri, air mata membanjiri wajah renta miliknya.
Sederas apapun air menghujami wajah itu, suara Tian tetap tertahan di tenggorokan. Meski wajahnya telah memerah padam sekalipun.
Rupa Taufan begitu pucat, sembab. Namun, diantara duka yang menyelimuti si pelukis, senyum tetap tercetak jelas pada wajahnya; seolah berkata tak apa. Takdir telah berjalan dan banyak hal telah terenggut darinya.
Tidak. Jelas itu bukan kalimat tak apa, jelas-jelas Taufan ingin mengakhiri hidupnya! Itu ... wajah itu hanya ingin menyampaikan pesan agar mereka tak khawatir .... Lucu. Sangat kontras dengan apa yang ia lakukan.
Mbak Tian meremas ujung jilbab miliknya. Meski monitor menampilkan detak jantung Taufan yang normal, jantungnya tak berhenti berpacu, takut-takut jikalau monitor berbunyi nyaring secara tiba-tiba.
Matanya sedikit melotot saat ia mendapati pergerakan jari Taufan, meski kecil, tapi ia tak salah lihat. Itu benar apa adanya.
Tian masih mengunci tenggorokan miliknya, dan ia menyerah saat mata Taufan benar-benar terbuka. Menampilkan sapphire yang cantik, shapirre yang kini hampa tanpa asa. Seperti padang gurun tiada akhir, kegelapan tak berujung.
Bibirnya bergetar pilu, suaranya menyayat-nyayat hati. "Nduk ...." Tangan Tian gemetar hebat, menemani sekujur tubuh yang berpeluh.
Tangis itu menyapa telinga Taufan, figur yang tengah membanjiri wajah dengan air bening tertangkap oleh mata miliknya. Rasanya seperti dihantam jutaan tombak. Rasa sakit menyergap ia, kepalanya berdengung sakit. Taufan meringis; dia tidak tega.
Taufan diam mendengarkan lirih rintih perempuan di sampingnya. Ia memilih melirik ke arah lain, menghindarkan diri dari tatapan kecewa Tian. Tatapan penuh amarah dan kesedihan, tetapi juga kebahagiaan. Entahlah, mungkin Tian senang karna jantungnya kembali berdetak normal, mungkin karna ia kembali membuka mata, apapun itu.
"Maaf ...." Hanya itu yang mampu mencelos dari bibir pucatnya, getaran suara itu bergoncang getir. Beserta rasa bersalah yang berkobar dalam dada, sesal.
Taufan tak mendapat sahutan, Tian masih sibuk menetralkan napas dan air matanya. Dan netra biru Taufan masih melirik ke sudut lain.
Puk.
Taufan tersentak, netra sapphire-nya membola. Ia menoleh; Mbak Tian mengusap surainya lembut. Sangat lembut ... dan hangat.
"Kenapa ...?"
Hanya satu kata, satu pertanyaan. Namun, Taufan terlalu pengecut untuk menjawabnya. Dia tidak bisa.
"Kenapa?"
Sekali lagi, dan Taufan masih diam bergeming. "Kenapa, Nduk?"
Kali ini, mulutnya terbuka. Merajut untaian kata.
"S-saya ... seperti ..." Ia menggantung kalimatnya, lagi-lagi membuang muka, "sepeti tidak memiliki tujuan lagi."
"Bunda dan Iza, pasti tidak ..."
Ah, Taufan tak bisa melanjutkan kalimatnya. Lidahnya kelu, terlalu sakit mengucapkan itu. Dadanya sesak.
"Mereka pasti menerima kamu. Dan kamu memiliki Mbak di sini ...."
"Juga Dia yang selalu bersama kita."
Dan detik jam setelahnya, hanya tumpah ruah kesepian. Namun, cukup—cukup untuk Tian mengerti.
--
26 Juni, Jum'at
Langitnya cantik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Mimpi [OG]
Fanfiction"Apa gue nggak layak merjuangin mimpi gue?" ------ Orang-orang selalu bilang, mimpi Taufan itu sampah, tapi Taufan percaya, dia bisa, selama mereka ada. Walaupun melihat, selalu membuatnya jengah. Meski tiap membuka kelopak mata, kelabu yang menyamb...