14 : Lo Tetep Adek Gue

128 18 24
                                    

27 Juni, Kamis

Jam telah menunjukkan pukul delapan malam, dan kini mobil Amato telah berhenti di depan rumah, menanti Rio membuka gerbang agar mereka bisa masuk.

Mesin-mesin yang bergetar berhasil membuat Taufan terbangun dari tidurnya, ia melenguh kecil dan mulai mengumpulkan nyawa. Sempat terdiam, bola mata biru itu bergulir melirik sekitar. Sudah sampai?

Terbangunnya Taufan dari tidurnya berhasil ditangkap mata Amato, membuat si empu menghela napas. Ragu-ragu, Amato membuka mulut, membiarkan pita suaranya bekerja di antara degup jantung yang menggema. Dan membuat mereka tetap berdiam di dalam, meski mobil telah memasuki halaman.

Entahlah, tapi semua terlalu sesak. Ini mungkin memalukan, atau bahkan seharusnya dari awal begini. Apapun itu, dia hanya ingin memuntahkan isi kepalanya yang telah ditahan sejak lama—tidak, tidak selama itu.

"Maaf ...."

Apa dia mengucapkan ini dengan benar? Apa kali ini dia benar-benar tulus? Benarkah dirinya meminta maaf? Atau ... dia akan kembali menjadi manusia paling dusta di muka Bumi? Ya Allah, tolong, tolong! Amato tidak mau menyiram lukanya pada sang anak lagi ....

"Uhm? Ayah bilang apa tadi ...?" Si remaja yang belum sepenuhnya sadar bertanya, sejujurnya kata 'maaf' itu terdengar, tetapi Taufan merasa ... mustahil.

Terakhir kali ayahnya bilang begitu, ia ingkar, bukan? Jadi, rasanya aneh jika ia mengatakannya lagi. Siapa tau telinganya salah dengar.

"Ayah minta maaf sebulan terakhir tidak menjenguk atau bertanya tentang kabarmu." Harap-harap kecil bahwa kali ini ia benar-benar tulus, suci, tak ada dusta maupun kalimat yang dimanis-maniskan.

Taufan diam, menunggu kalimat sang Ayah selanjutnya. Taufan tau ini hanya alasan-alasan lainnya dari jutaan yang pernah ayahnya ungkapkan, ia juga sudah lelah beradu mulut dengan sang Ayah.

"Ayah ada di luar kota, mengurus klien."

Taufan masih bergeming. Dia sudah tau bagian ini. Dan ini sudah ratusan kali jika sejak umurnya dua tahun dihitung, bosan? Tentu, tapi lebih perih daripada bosan.

"Perusahaan Ayah ... bangkrut, dan modal Ayah habis ...." Jeda diantara kalimat Amato memberi atmosfer yang mampu membuat keduanya membeku, tenggelam dalam situasi tak nyaman. Melirik-lirik sekitar, berusaha membuang perasaan aneh ini.

Amato memainkan jari-jarinya, bola matanya semakin tak nyaman 'tuk berdiam. Alasan yang ia punya ... terlalu lucu, sangat kentara bahwa bohong, meski ... meski itu fakta! Namun, apa putranya akan percaya? Apa Taufan akan percaya?

"Untuk ... untuk membayar operasi kalian." Sial sekali, hal ini sangat layak ditertawakan. Memalukan! Alasan bodoh macam apa itu? Bagaimana mungkin? Amato sangat payah—terlalu bodoh! Tindakannya selama ini, benar-benar tidak mencerminkan ucapannya.

...

Taufan tersentak, matanya bergulir ke atas, menatap spion yang menampilkan wajah lelah ayahnya. Gila! Mana mungkin! Itu pasti bohong!

"Apa ...?" Taufan coba pastikan.

"Ayah stress, tanpa sadar Ayah mengabaikan kalian lagi ... tanpa sadar Ayah melampiaskan lelah—, luka Ayah ke kamu, Taufan ... maaf, Ayah memang bodoh ... benar, Ayah itu bajingan ...." Apa Amato berbohong? Apa dia berdusta lagi? Apa ini tulus? Amato berdecak, giginya bergemlatuk.

Warna Mimpi [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang