16 : Keluh Kesah

68 11 5
                                    

Ini pukul 12 malam, tetapi Ice malah terbangun dan turun ke lantai dasar untuk menegak segelas air. Tidak, Ice tidak haus. Hanya ... dia butuh air untuk menenangkan diri dari mimpi barusan.

Mimpi menyebalkan.

Ice berdecak kesal, lantas meletakkan gelasnya pada meja. Dengan langkah paksa, ia berjalan menuju biliknya. Dari dapur, Ice harus melewati ruang makan, lalu melewati koridor dekat gudang, ke ruang utama dan menaiki tangga. Memikirkannya saja membuat Ice malas.

Ruang makan telah ia lewati tanpa tersandung apapun mengingat ruangan sangat gelap. Namun, langkah kakinya berhenti di koridor.

Duk

Srak

Srat

Sert

Jidat Ice mengerut, suara berisik apa itu? Dari mana asalnya? Apa ada maling? Aduh, bulu kuduknya meremang. Tangan telanjang itu terangkat meraba dinding, berjalan mendekat pada asal suara grusak grusuk datang.

Pat!

Oh? Gagang pintu? ... pintu .... Pintu gudang?

Tanpa basa-basi, Ice memutar knop. Ia terhenyak sekejap kala dengan mudahnya pintu terbuka. Ia memutar bola mata malas. Pantas maling bisa masuk! Gudang aja gak dikunci!

Tangannya meraba sekitar, merasakan ada benda tumpul yang agak berat berhasil ia genggam, Ice memasang kuda-kuda. Bersiap menyalakan lampu gudang dan memukul siapapun yang ada.

Ctak!

"MEOW!?"

"AWAS LO PENC— oh— kucing?"

...

"Kucing siapa- ..." Tunggu. Ice terdiam, rautnya tampak tak nyaman, ia melepas genggaman dan kuda-kudanya, berjongkok berusaha menyamakan tinggi dengan si kucing meski tak perhasil. "lu ga berak sembarangan, 'kan?"

"GRRR!!!" Kucing kelabu itu menggeram, lalu berlari pergi menjauh dari Ice, membuat yang dijauhi tersenyum kecil. "Kucing aneh."

Brak!

Ia terperanjat, segera berdiri dan menarik kepalanya untuk mengamati sekitar. Ice hampir mengambil kembali benda tumpul tadi jika ia tak menyadari bahwa suara tadi hanyalah suara buku yang jatuh. Ia menghela napas lega.

Kaki jenjangnya berjalan mendekati buku tua, iris akua tatap tanpa minat, hanya ingin mengembalikan si buku pada tempatnya. Tangannya terulur, menggenggam buku berdebu itu. Namun, saat ia hampir meletakkan buku pada rak, tangannya terhenti.

"Bentar, kok ... gue kaya pernah lihat bukunya ...?" monolognya kala sebuah memori melintas sekejap. Ia tarik kembali tangannya, lantas membuka halaman demi halaman dengan wajah serius.

Aku gak tau ....
Apa ini yang terbaik?
Apa ini bener, Ya Allah?
Maaf, maaf ....

Alis Ice mengerut, apa ini? Tangannya kembali membalik halaman.

Beliung Arva Antareksa, welcome ...
Aku akan menyayangimu seperti aku menyayanginya...

Siapa? Beliung? Oh ... ya, kata Distha, Beliung adalah nama lama Taufan? Bukan?

Dia kembali membaca lembaran-lembaran lainnya secara acak.

Maaf ...

Taufan ...

Benci ...

Warna Mimpi [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang