3 : Sesal

108 20 13
                                    

7 Maret, Kamis

Ledakan mengudara, mengisi kekosongan pada hamparan udara, begitu nyata terpampang di depan mata. Jerit memekakkan berdengung dalam telinga, tangis air mata sebagai pelengkapnya.

Letusan itu membuat komponen-komponen besi terlempar tak beraturan. Menumbuk tak kenal siapa. Ramainya ricuh begitu kontras diantara dinginnya malam.

Awas! Awas! Awas!

Tragedi terjadi kian kali. Puing-puing menyebar, memukul tanpa ampun, tanpa pandang bulu. Darah menggenang, berciprat menyebar, menciptakan kesan mengerikan, tangis dari kian banyak anak menambah atmosfer tegang.

Orang-orang berkerumun, berdesak-desakan, dorong mendorong. Namun, hanya sekedar berniat mengabadikan, tiada rasa kemanusiaan untuk menolong.

Insiden saat itu berputar tanpa henti pada layar, dan Taufan tepaksa menatapnya. Ketakutan menyelimuti sang remaja. Kulitnya seolah digerogoti api. Pendengarannya berdengung, matanya panas, tubuhnya mati rasa.

Ia takut.

Ia ingin menjerit, tapi bibirnya menolak terbuka.

Ia ingin memejam mata. Namun, matanya terus melotot.

Tolong ....

Siapapun ....

"TOLONG!" Napasnya tersengal, tubuhnya tergoncang getir. Wajah tampan itu pias, berpeluh keringat. Air matanya mengalir tanpa sadar. Ia tak dapat melihat jelas, pengelihatannya kabur.

Mimpi?

Taufan gemetar menoleh ke samping, pengelihatannya pulih perlahan. Namun, semakin jelas ia melihat, makin merasa asing Taufan dengan ruangan yang ia tempati saat ini. Di mana?

Ia mulai memperhatikan tiap sudut ruangan, dari atas ke bawah, kanan ke kiri, dan yang lain. Cat dinding berwarna putih, lantainya sama, jendela ditutup dengan tirai, tapi sedikit terbuka. Matanya juga menangkap alat-alat yang tak ia pahami. Ah, dia baru sadar ada banyak alat yang terpasang di tubuhnya.

Apa ini rumah sakit?

Tunggu. Bagaimana ia sampai kesini? "Sshh ...." Taufan merasakan kepalanya berdengung, sakit. Beberapa bagian tubuhnya juga perih, sangat. Mata sapphire itu mencuri pandang ke lengannya, sebuah luka bakar berhasil membuatnya melotot.

Taufan berusaha bangun untuk duduk. Ia harus bertanya dengan seseorang, ia belum ingat apa yang terjadi, dan setaunya, orang yang pingsan juga tak akan ingat penyebab pingsannya. Namun, sesuatu berhasil membuatnya tercekat. Terdiam sembari duduk.

Tangannya ... tangannya membantah, tangannya tak mau bergerak, tangannya terkunci. Ia masih mengerjap, belum paham apa yang terjadi. Ia menyerengit.

Sebenarnya apa yang terjadi, Ya Allah?

Ia diam. Mencoba mengingat.

Alisnya mulai bertaut. Rautnya mulai mengerut.

Yang terjadi ... apa?

Mengapa tangannya menolak?

Uh?

Menciut netra sapphire itu, dan dalam diam, air mata lelaki itu lolos satu per satu.

Apa ia lumpuh?

--

Suara bising menjadi latar sekolah siang itu. Sementara di kantin, Halilintar tengah menyantap sate ayamnya tanpa terganggu dengan tingkah teman-temannya yang lain.

Warna Mimpi [OG]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang