29 Juni, Sabtu
Hari ini adalah sesi terapi bagi Taufan, tetapi ada yang berbeda. Kali ini ... Amato ikut dalam terapi, mengikuti Taufan di belakang dan ikut duduk di ruang terapi.
Taufan bisa lihat Yanaari tersenyum dan berbasa-basi terlebih dahulu sebelum memulai sesi terapi 5 menit lagi. Jujur saja, Taufan agak gugup. Pasalnya, ini kali pertama ia akan mengikuti sesi terapi bersama Amato. Selama di unit psikiatri saja, Amato sama sekali tak acuh pada Taufan, bukankah aneh? Ini terlalu mendadak ....
"Baiklah, mari kita mulai sesinya." Yanaari menoleh, tatap Taufan yang membuat si empu terkesiap. "Santai saja, Taufan. Ini tak terlalu berbeda dengan sesi terapi di unit psikiatri. Kalau kamu tidak betah, kamu bisa mengatakannya pada saya."
Taufan ikut melukis senyum, ia mengangguk sebagai balasan. Mata birunya melirik Amato yang duduk di sampingnya sekejap, lalu beralih pada Yanaari yang duduk di sebrang, hanya terhalang meja.
"Taufan, bagaimana perasaanmu setelah dipulangkan dari rumah sakit?" tanya Yanaari membuka sesi, nadanya tenang, tanpa intimidasi, matanya juga tampak tak memaksa. Wanita itu tersenyum lembut, seperti coba buat Taufan nyaman; setidaknya begitulah di mata Taufan.
Taufan terdiam mencerna pertanyaan itu, hatinya mendadak bergemuruh bak petir kala hujan. Alisnya mengernyit bingung, dia harus jawab apa? Taufan bahkan tak mengerti apa yang dia rasakan. "Saya ... bingung ...."
"Saya ... em ... senang? Apa iya? Tetapi, saya juga takut ... dan sedih ...."
"Terlalu banyak perasaan, emosi, saya tak mengerti, yang mana?" Taufan menunduk, gelisah, pelipisnya mulai berkeringat. Emosinya jadi berkecamuk lagi, berantakan, kacau! Gimana ini?
"Tenang, Taufan. Tidak apa. Wajar kamu merasakan banyak emosi. Kita urai sama-sama, ya?" Yanaari memberi jeda. "Kenapa kamu senang? Apa ada hal seru yang terjadi? Atau kamu mengingat hal bahagia di masa lalu? Atau kamu bertemu dengan seseorang yang membuatmu bahagia?"
Si biru terdiam, bibirnya terbuka, lalu tertutup, mencoba menata tiap aksa yang ingin keluar menjadi untaian kalimat. "Karna Ayah mengajak saya melakukan berbagai hal yang ingin saya lakukan dulu." Ia beri jeda, bernapas berat di antaranya. Curi-curi pandang pada Amato lewat ekor mata, dan Taufan merasakan jantungnya berhenti berdetak sesaat saat menangkap mata berkaca milik Amato. Dusta?
"Mungkin ... karna Izar juga pulang, dan kemarin kami bermain bersama ...." Mata birunya kembali fokus menatap Yanaari.
Wajahnya meneduh. "Saya dan dia bermain bersama, dia menggambar stickman di atas lukisan langit yang sudah saya buat, itu lucu, haha."
"Haha. Begitu, ya, Taufan. Bagaimana pendapat Anda tentang hal itu?" Yanaari beralih menatap lurus Amato. Mata mereka bertemu, Amato hanya terdiam tanpa ekspresi, bergeming ....
Jantungnya beradu dengan napas. Bagaimana jika Amato salah bicara lagi? Bagaimana jika Taufan sakit karna dia lagi? Bagaimana— bagaimana? Bagaimana jika ... jika ....
Dug
Amato tersentak, menoleh pada Taufan yang menyenggol lengannya.
"A-ah ... itu ..., saya senang. Saya ... bisa mengungkapkan apa yang saya inginkan, saya bukan ayah yang baik. Sangat buruk melebihi siapapun .... Saya lega Taufan bisa sedikit terhibur dengan apa yang saya lakukan, meski itu tak membayar apapun ...." Air matanya menetes sebiji tanpa disadari, matanya merah panas, tangannya getir.
"S-saya senang bisa meminta maaf dua hari lalu, entah- ... entah apakah ada dusta dalam permintaan maaf saya atau t-tidak ...." Itu jujur, Amato mengucapkannya tanpa dipoles-poles kata-kata manis yang dibuat-buat, tangannya panas dingin saat mengucapkan itu. Mungkin Taufan akan tertawa jika tau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Mimpi [OG]
Fanfiction"Apa gue nggak layak merjuangin mimpi gue?" ------ Orang-orang selalu bilang, mimpi Taufan itu sampah, tapi Taufan percaya, dia bisa, selama mereka ada. Walaupun melihat, selalu membuatnya jengah. Meski tiap membuka kelopak mata, kelabu yang menyamb...