Apa yang akan kamu lakukan jika orang yang sangat berharga bagimu mati?
Depresi?
Frustrasi?
Membeku?
Jiwamu mati?
Menangis?
Meraung?
Mengamuk?
Membenci-Nya?
...
Taufan juga begitu.
Tetapi, itu jika dia masih sama.
--
Masa berjalan seperti siput, sangat lambat. Baginya seperti itulah hari ini. Dia kira, dia benar-benar bisa bertemu ibunya hari ini. Dia kira, dia benar-benar bisa menyerbu ibunya dengan kasih sayang. Dia kira, dia bisa memeluk ibunya setelah waktu yang panjang.
Taufan kira, dia bisa melihat senyum itu terukir di bibir ibunya, tetapi mengapa satu-satunya yang bisa dia lihat hanya nisan dengan nama berharga itu?
Kenapa?
"Hancur sudah ....." lirihnya, bersusah payah menelan jerit yang ingin menguap, tetapi air mata menggantikan jeritan miliknya. Air mata terjun tertarik gravitasi Bumi. Perlahan suara putus-putus itu mendobrak keluar dari kerongkongan.
Lemas, ia berjongkok di samping makam Kuputeri. Mata sayu melirik penuh duka, jiwa yang terus terluka itu hanya mampu berdiam membiarkan liquid mewakilkan segalanya. Berdiam memberi sejuta curahan.
Sosok lentera dalam hidupnya tiada, sebelum sempat ia lihat wajahnya untuk terakhir kali, sebelum sempat ia kecup keningnya, sebelum sempat ia angkat kerandanya, sebelum sempat ia kuburkan dengan tangannya. Ia seolah dicabik dari dalam hingga yang tersisa hanya kulit, membiarkan ia kosong dalam kehampaan. Dihujam ribuan ranjam, hingga terkoyak seluruh raganya.
Padahal gue udah janji buat gak hancur sekali lagi ....
Kepalanya tertunduk, geliginya bergemlatuk keras. Tolong hancurkan saja hatinya! Hancurkan saja agar ia tak lagi merasakan perih perihal derita! Rusak saja empatinya! Agar ia tak lagi berpikir dua kali untuk membalas yang telah melukai! Remukkan saja tubuhnya! Supaya ia tak lagi bisa melihat dunia!
Hancurkan saja! Hancur! Hancur! Hancur!
Dia lelah!
...
...
...
...
"Bang Ama, are you okay?"
"No, please leave me alone, Ice." Lantas Taufan berdiri dan berjalan menjauhi makam, entah langkah itu akan membawanya ke mana. Ia hanya ingin menenangkan pikiran yang tengah berkecamuk.
Kala Amato ingin menyusul, Ice memberi kode agar sang Ayah tetap di sini, membuat ia mengurungkan niatnya. Kembali merenungi kematian si istri.
Manik akua itu kembali tatap nisan, kini gilirannya berjongkok di samping makam sang Ibu. "Assalamu'alaikum, Bunda. Maaf, ya?" Tangannya terangkat, mengusap-usap nisan lembut, sangat lembut, "Adek belum bisa berduka atau sedih atas kepergian Bunda, karna Adek belum bisa inget kenangan kita,"lanjutnya.
"Maaf sekali lagi, Bunda." Walau ia tak ragu mengucapkan rangkaian kalimat menyedihkan itu, entah mengapa sudut matanya berlinang air mata. Samar ia bisa merasakan dadanya sesak tak tertahan. Ah, ini aneh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Mimpi [OG]
Fanfiction"Apa gue nggak layak merjuangin mimpi gue?" ------ Orang-orang selalu bilang, mimpi Taufan itu sampah, tapi Taufan percaya, dia bisa, selama mereka ada. Walaupun melihat, selalu membuatnya jengah. Meski tiap membuka kelopak mata, kelabu yang menyamb...