Semua berlalu begitu cepat, ya?
Sepertinya, beberapa bulan lalu ... Taufan akan segan berpikir bahwa takdir akan berubah secerah ini.
Dia tidak akan berpikir dua kali untuk berkata bahwa ayahnya telah mati. Dia tidak akan berpikir dua kali untuk membunuh ayahnya. Dia ... tenggelam dalam dengki dan benci. Lantas, kenapa sekarang jadi begini?
Semua hal yang terjadi, tampak masih menjadi misteri. Tentang Amato dengan pikiran labil—maksudnya, dengan cepat ia berusaha memutar balik keadaan setelah memporak-porandakan segalanya.
Tentang dia yang berharap mati, dia yang ingin membunuh dirinya sendiri, sekarang malah berjanji untuk tak menyia-nyiakan hidup.
Bertemu Mbak Tian, seseorang yang menjadi tonggak sementara untuknya. Padahal, mereka hanyalah orang asing yang bertemu dalam garis takdir, 'kan? Lucu, jika diingat.
Walaupun begitu, Taufan masih tetap tidak ingin—tak mau menodai kanvasnya dengan cat berwarna. Entahlah. Sesuatu masih mencegah Taufan untuk terbang, terlalu berlebihan? Mungkin ya.
Tentang sekolah, Taufan dan Ice tidak akan bersekolah di sekolah umum lagi. Mereka akan menjalankan sekolah dari rumah, terutama Taufan dengan segala keterbatasannya.
Lalu, bagaimana dengan ingatan Ice? Sejak saat Ice pingsan di gudang, Ice menunjukan perubahan. Dia jadi lebih sering tersenyum, Ice kembali ... Ice Izar Markah kembali perlahan-lahan. Mengukir memori baru, merajut memori lama, menyimpan semua kenangan itu.
Dan terakhir, bagaimana dengan Bunda? Itu ... entahlah ....
Bunda ... bagaimana jika kita melihatnya secara langsung?
--
Senin, 29 Juli
"Sudah ... satu bulan, ya?" Taufan menatap kanvas polos di atas meja. Lalu, mata sapphire itu melirik ke luar jedela. Langit terbentang luas, diisi kumpulan debu-debu putih yang menggumpal. Sudut bibirnya terangkat.
Ia berdiri, berjalan mendekati rak penuh botol cat. Kepercayaan .... Apa dia telah percaya pada sang Ayah setelah lama saling memerangi? Entah, tapi satu bulan terakhir, menyenangkan, kok. Taufan melakukan apa yang Yanaari katakan, mengobrol bersama Amato setiap hari meski sekejap. Dan itu menggelitik hati mungilnya tiap hari.
Ingatan Ice juga setidaknya telah pulih seperempat—atau kurang. Dia mendengus senang, tangannya menyatu mengangkat botol cat. "Satu bulan ..."
Bukankah satu bulan lalu Bunda juga menelfon mereka? Meski Taufan tak dapat tatap wajah bundanya—tidak ada yang menyangga. Meski dalam mode video call, layar hanya menampilkan langit-langit rumah sakit. Tangan Bunda patah, tetapi masih bisa sembuh, dan belum bisa digerakkan. Tidak ada perawat yang sempat untuk membantu Bunda menampilkan wajah eloknya, haha.
Taufan kembali duduk. Mengamati lemari penuh cat dalam diam. Beralih memperhatikan kode warna pada botol cat yang ia ambil dengan sukar. Semua putih, hitam, atau abu. Apa ... Taufan harus mempertimbangkan menambah warna pada karyanya?
...
Tidak.
Taufan terkesiap saat sebilah memori menerjang kepalanya.
Tidak perlu. Ya, itu tak perlu.
--
Angin beramai-ramai membabat luasnya Bumi, membuat surai-surai sang lelaki tertarik mengikuti arah angin berhembus. Mentari bersinar terik, melukis kehangatan dan senyum pada hampir setiap insan, tak terkecuali Taufan yang saat ini duduk di kursi taman. Kupu-kupu berdansa di udara, berlomba-lomba mencari bunga terbaik, pun lebah melakukan hal yang sama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna Mimpi [OG]
Fanfiction"Apa gue nggak layak merjuangin mimpi gue?" ------ Orang-orang selalu bilang, mimpi Taufan itu sampah, tapi Taufan percaya, dia bisa, selama mereka ada. Walaupun melihat, selalu membuatnya jengah. Meski tiap membuka kelopak mata, kelabu yang menyamb...