17. Dinginnya Malam

3 0 0
                                    

Semakin hari Akemi sudah terbiasa dengan suasana ini. Malam hari dengan penerangan yang lebih minim dibanding dengan tempat biasa ia terlelap, ditambah dengan kesunyian di Kuil Kuugenji. Memang tidak setiap hari, tetapi belakangan ini Akemi sering menginap karena tengah menjalani libur pergantian semester.

Menghabiskan waktu lebih banyak dengan sang kekasih—itulah yang ia inginkan. Orang tuanya juga tidak keberatan ia menginap di sana. Harai Shakkuu—ayah dari Kuukou—juga tidak keberatan dengan hadirnya Akemi di sana.

Semuanya berjalan begitu baik. Bagaimana Akemi mempelajari banyak hal dari Kuukou dari latihan-latihannya setiap hari adalah hal terbaik yang ia alami selama liburannya. Ditambah lagi Jyushi dan Hitoya yang tidak jarang berkunjung membuat suasana menjadi lebih meriah dan menyenangkan.

Namun, waktu berlalu sangat cepat, bahkan terlalu cepat bagi Akemi.

Dua hari lagi ia harus kembali menjalani hari-harinya sebagai mahasiswa di salah satu kampus di Nagoya. Rasanya ia belum rela harus kehabisan waktu liburannya. Rasanya ... ia merasa terlalu jauh merajut relasi dengannya.

Malam itu Akemi tidak dapat tertidur. Seharian ia sudah bersenang-senang, merasakan kebahagiaan tidak hanya dengan Kuukou saja, tetapi dengan orang lain yang mengenal Kuukou. Hari itu banyak hal terjadi—atau mungkin terlalu banyak.

Apa akan lebih baik jika kita tidak pernah sedekat ini?

Pernahkah kalian berpikir tentang sesuatu yang biasanya tidak pernah kalian pikirkan? Banyak yang menyebutnya overthinking.

Kalimat itu entah bagaimana bisa hinggap di kepalanya. Akemi menjadi kembali mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Kuukou, bagaimana ia mulai dekat dengannya, bagaimana perlahan ia mulai mengagumi dan tanpa sadar jatuh cinta pada orang yang saat ini sudah menjadi kekasihnya. Rasanya baru satu tahun mereka saling kenal, dan baru beberapa bulan mereka menjadi kekasih, tetapi hubungan mereka sudah sedekat ini. Bukankah itu bagus? Atau mungkin tidak.

Bertemu dengannya mungkin bukan hal yang buruk, tetapi apa jatuh cinta padanya adalah hal yang baik? Apakah ketika ia menyatakan perasaannya merupakan pilihan yang tepat? Apa hubungan mereka sekarang adalah jalan yang akan berbuah manis?

Tanpa sadar Akemi menghela napas panjang seraya membuang sebagian beban pikirannya malam itu. Ia membalik badan dan melihat Kuukou sudah terlelap.

Sumpek. Akemi ingin udara segar.

Akemi melangkah keluar dari kamar dengan keberanian yang ia miliki mengingat keadaan kuil di malam hari terbilang cukup gelap. Pintu kamar sengaja ia buka sedikit agar ia masih mendapat cahaya dari ruang tidur.

Di depan kamar ia duduk memandangi pekarangan kuil yang gelap. Menakutkan baginya, tetapi sedikit cahaya dari lampu yang masih menyala sedikit membantunya. Lututnya ditekuk didepan dada dan ia memeluknya. Dingin. Rasanya jadi semakin dingin, tetapi ada sesuatu yang seakan menahannya untuk tidak kembali ke kamar dan berlindung di balik futon yang hangat.

Dingin banget.

Hawa dingin malam dengan angin yang sesekali bertiup memperburuk keadaan. Kantuk perlahan menggerogoti kesadarannya. Mungkin ia akan tertidur di sana. Atau tidak.

Sesuatu menarik perhatian Akemi. Gelapnya malah seakan tidak membiarkan Akemi benar-benar melihat sosok yang sepertinya sedari tadi memperhatikannya. Akemi terus memandanginya dengan sisa kesadaran yang ia miliki setelah diserang kantuk hebat. Dan sebelum Akemi menyadarinya, sosok itu mendekat.

Mimpi ...?

Akemi berkedip beberapa kali sampai ia menayadari ada bayangan hitam yang besar tepat berada di depannya. Sekujur tubuhnya membeku. Ia ketakutan hingga tidak dapat bergerak atau mengeluarkan suara. Napasnya mendadak tidak beraturan dan entah sejak kapan peluh mulai membasahi pelipisnya. Yang pasti jantungnya saat ini berdegup sangat cepat karena rasa takut yang ia alami.

Kuukou ada di dalam sana, dan Akemi tahu itu. Ia hanya perlu memanggil namanya dan Kuukou pasti akan terbangun. Atau bangkit dan berlari ke kamar. Ia seharusnya bisa melakukannya bukan?

"Ku—"

Mulutnya kembali bungkam saat angin tiba-tiba bertiup membawa hawa dingin yang membuat suasana semakin mencekam.

Apa yang akan makhluk itu lakukan padanya? Apa yang ingin diambil makhluk itu darinya? Akemi tidak tahu—dan mungkin ia tidak ingin mengetahuinya.

"Oi! Bangun woi!"

Entah bagaimana caranya, tetapi malam itu Akemi menghabiskan waktu tidurnya dengan posisi terduduk di depan kamar.

"Lu ngapain tidur di sini?" tanya sang biksu yang masih kebingungan dengan Akemi yang tiba-tiba saja ia temui tengah tertidur di depan kamar.

Sebelum menjawab, Akemi melihat ke kanan dan kiri. Semuanya terlihat baik-baik saja. "Semalem gue keluar bentar terus malah ketiduran," jelasnya. Kuukou terus menanyainya, tetapi Akemi tidak menjelaskan lebih jauh alasan ia memutuskan untuk keluar kamar. Beruntungnya kejadian menakutkan itu ternyata hanya mimpi. Atau mungkin saja bukan.

"Lain kali jangan sembarangan keluar kamar. Bahaya."

Akemi terkejut menyadari suara Kuukou yang terdengar serius ketika mengatakannya. Ia memberanikan diri bertanya. "Emangnya kenapa?"

Suasana hening yang tidak mengenakan tiba-tiba menghampiri mereka selama sepuluh detik, hingga di detik ke sebelas Kuukou mendaratkan kepalan tangannya di pundak kepala Akemi—dengan lembut. "Lu bisa masuk angin, bego."

-End-

-Narake-

Threads (Harai Kuko x OC)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang